Merengkuh Sosiologi Bencana di Tengah Bumi Nusantara

- Jurnalis

Kamis, 9 Desember 2021 - 01:09 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

oleh: Yusuf Blegur

Gunung Semeru baru saja menyemburkan awan debu dan memuntahkan lahar panas. Korban jiwa dan harta serta kerusakan lingkungan tak terhindarkan. Begitu juga dengan bencana alam seperti kebakaran, banjir dan musibah-musibah lainnya yang selalu menimbulkan penderitaan masyarakat yang terdampak. Dalam suasana duka dan keprihatinan yang dalam, seketika dengan reaksi cepat mengalir juga simpati, empati dan bantuan masyarakat dari pelbagai penjuru tanah air.

Satu kebiasaan rakyat Indonesia yang begitu responsif jika melihat saudara sebangsa dan setanah airnya mengalami kesusahan. Nilai-nilai lama dari warisan nenek moyang itu menjelma bukan saja sebagai tradisi dan kebiasaan. Solidaritas sosial itu telah menjadi karakter sekaligus budaya dari nilai-nilai gotong royong sebagai salah satu keluhuran bangsa Indonesia.

Jika menyadari realitas itu. Maka akan menjadi menarik mengangkat masalah bencana dari aspek sosiologi. Adanya mitos dan etos yang menjadi bagian dari kehidupan tradisional masyarakat. Sifat saling asa, saling asuh dan saling asih mendorong kearifan lokal tersebut menjadi faktor penting membangun kekuatan nasionalisme. Partisipasi rakyat dalam ikut membantu korban bencana patut diapresiasi dan menjadi kebanggaan.

Tanpa menunggu penanganan dari pemerintah, inisiatif yang lahir dari organisasi kemasyarakatan dan para relawan. Berjibaku mengambil resiko, menempuh lokasi yang kadang terisolir, menyumbangkan tenaga, makanan, obat, pakaian dll yang diburuhkan, dengan biaya sendiri atau secara kolektif demi membantu sesamanya.

Mewujudkan nasionalisme dengan cara yang sederhana tanpa kerumitan dan problem-problem politik itu. Para relawan ikut peduli dan merasakan penderitaan dengan berbagi kepada yang membutuhkan. Dengan cara itulah partisipasi rakyat memaknai arti menjadi bagian dari sebuah bangsa dan negara.

Selain membayar pajak dan melaksanakan perintah kontitusi dan kebijakan pemerintah lainnya. Ikut membantu korban bencana, merupakan salah satu jawaban bahwa tidak semua persoalan kehidupan rakyat harus diserahkan sepenuhnya kepada negara dan mempercayakan begitu saja kepada aparatur pemerintahan. Peran aktif, inisiasi dan kreatif harus dimiliki rakyat sebagai solusi dari masalah yang menggelutinya.

Baca Juga:  Balada Cebong, Kampret dan Kadal Gurun di Bumi Nusantara

Bencana Alam dan Bencana sosial

Negeri ini belakangan terakhir terus mengalami kekacauan. Bukan hanya disebabkan oleh distorsi kebijakan dalam soal-soal politik dan ekonomi. Pembajakan konstitusi dan penerapannya yang ugal-ugalan demi kepentingan kelompok baik oligarki maupun borjuasi korporasi. Penyelenggaran menejemen yang serampangan, menyebabkan negara telah mengalami krisis multidimensi.

Ironisnya bukan hanya soal demokrasi dan kesejahteraan rakyat yang dikorbankan demi kekuasaan yang korup dan tiran. Mirisnya, rezim juga telah sewenang-wenang menimbulkan kerusakan alam dan ekosistem yang ada di dalamnya. Sama-sama berdampak buruk dan menyebabkan penderitaan hidup rakyat.

Bencana alam dan bencana sosial seiring sejalan dan silih berganti memicu kemiskinan, menimbulkan wabah penyakit dan kelaparan. Serta tidak sedikit rakyat yang terintimidasi, mengalami teror, teraniaya dan terancam jiwanya. Sama halnya dengan alam ketika bergejolak, kekuasaan yang korup dan tangan besi juga dapat menyebabkan kematian yang massal dan kemunduran peradaban.

Kalau dalam penanganan bencana alam, ada beberapa kegiatan yang terkaitan dengan upaya deteksi dini, preventif, mitigasi dan evakuasi. Begitupun seharusnya pada penanganan bencana sosial. Potensi bahaya yang bisa timbul dari kesalahan sistem dan penyalahgunaan kekuasaan, juga sebuah resiko yang tidak bisa dianggap remeh.

Kejahatan struktural dari suatu sistem yang dilakukan kekuasaan bukan hanya dapat menghancurkan keberadaan dan eksistensi fisik semata. Daya rusaknya juga mampu memengaruhi ranah psikologis dan psikopolitik. Terkadang melebihi bencana alam pada skala tertentu. Pada manusia bisa mendatangkan korban yang tidak sektoral, namun masif dan menyeluruh. Pada upaya perbaikan, ia tidak serta merta mudah dan cepat melakukan recovery dengan sekedar pembangunan berbiaya dan berteknologi. Membutuhkan proses waktu dan kepercayaan yang tinggi untuk memulihkannya.

Dalam aspek sejarah dan peradaban manusia, bencana sosial menimbulkan preseden buruk, sikap skeptis dan apriori terhadap kepemimpinan dan masa depan politik suatu negara. Termasuk keberadaan hukum yang sudah lama tidak dipercaya rakyat. Bencana alam selain karena dipicu ulah manusia, rakyat juga masih bisa menerima kalau ada kehendak Tuhan yang melakukan intervensi.

Baca Juga:  Gelora Bung Karno dan Polemik Gelora Anies

Sementara, bencana sosial lebih banyak didominasi oleh perilaku dan watak kekuasaan yang rakus, tamak dan serakah. Dalam kebanyakan prakteknya, kekuasaan yang dzolim berwajah memusuhi sesama manusia, tidak bersahabat pada lingkungan dan menegasikan keberadaan Tuhan dan syariat keagamaannya. Pemikiran dan sikap kritis selalu dihadapi rezim sebagai upaya pembangkangan, perlawanan dan tindakan makar.

Akankah rakyat negeri ini terus pasrah pada keadaan? Bencana demi bencana mungkinkan dianggap selalu karena keinginan dan takdir dari Tuhan. Mungkinkah rakyat merasakan bahwa pemimpin itu baik buruknya lahir dari rahimnya sendiri? Kemaslahatan atau kemudharatan itu boleh jadi karena pemimpinnya alim atau dzolim. Atau bisa jadi, rakyat mendapatkan pemimpin dari representasinya sendiri.

Mampukah rakyat menentukan nasibnya sendiri, tanpa pengaruh dan kekuatan yang menjauhkannya dari kebenaran dan keadilan? Rakyat yang memilih pemimpin rakyat pula yang bisa mencabut mandatnya. Agar negara bisa lebih baik dan terhindar dari bencana yang jauh lebih besar lagi.

Tak ada salahnya, sesekali rakyat mendengar apa kata agama. Bahwasanya, Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum jika bukan karena kemauan kaum itu sendiri.

Negeri ini, bisa tidak mampu, bisa juga tidak mau. Bisa pesimis, namun besar optimis mewujudkannya. Semoga.

*Penulis adalah Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.

Berita Terkait

Dirgahayu Kabupaten Bekasi ke 73, Semoga Rakyatnya (bisa) Bahagia dan Sejahtera
PPDB Online Sistem Zonasi, Pemerataan Akses Sekolah Negeri Berbuah Praktek Manipulasi Data
Penolakan Tesis Proporsional Tertutup dalam “Bocorkan Putusan MK”
Kebenaran “Ratio Decidendi” Putusan MK Masa Jabatan KPK Lima Tahun
Gotong Royong Tangkal Hoaks, Jaga Kerukunan di Pemilu 2024
Saatnya Rakyat Lawan Rezim Dzolim, Wujudkan Kedaulatan yang Sesungguhnya.
Nasionalisme, Patriotisme dan Fosil Kepahlawanan
Revitalisasi Sumpah Pemuda 1928 untuk Bela Negara
Berita ini 39 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 4 September 2023 - 09:12 WIB

Tak Mau Kalah dari Pertamina, Ini Harga BBM Terbaru di SPBU Vivo dan Shell Indonesia

Rabu, 30 Agustus 2023 - 05:47 WIB

Ini Dia 10 Aplikasi Pendeteksi Gempa dan Tsunami untuk Android dan iOS

Selasa, 29 Agustus 2023 - 14:56 WIB

Gangguan Massal Terjadi di Platform X, Elon Musk Belum Klarifikasi

Selasa, 22 Agustus 2023 - 14:52 WIB

Ini Dia 10 Penyakit Akibat Pencemaran Udara yang Perlu Diwaspadai

Sabtu, 12 Agustus 2023 - 10:15 WIB

Langit Indonesia Bakal Bertabur Hujan Meteor Perseid Dini Hari Nanti

Senin, 7 Agustus 2023 - 07:51 WIB

Menteri Kesehatan RI Temui Elon Musk Jajaki Akses Internet untuk 2.200 Puskesmas Terpencil

Minggu, 6 Agustus 2023 - 10:38 WIB

Kerap Kencing Sembarangan Hingga Berak Enggak Cebok, Lukas Enembe Bikin Gerah Seluruh Tahanan di Rutan KPK

Sabtu, 5 Agustus 2023 - 20:37 WIB

Gegara ‘Online News Act’ Facebook dan Instagram Blokir Kanada, RI Bakal Menyusul?

Berita Terbaru