JATIASIH – Penyebab pasien didiagnosa mati batang otak belum bisa dipastikan oleh Rumah Sakit (RS) Kartika Husada Jatiasih, RS tipe C ini tidak memiliki fasilitas penunjang pemeriksaan berupa Computed Tomography (CT) Scan dan Magnetic Resonance Imaging (MRI).
Tim investigasi telah dibentuk, hasilnya diminta untuk dibuka secara transparan, serta diberikan sanksi tegas jika terbukti ada kelalaian.
Ucapan duka cita kemarin disampaikan oleh berbagai pihak atas kepergian BA, diantaranya jajaran manajemen RS Kartika Husada, hingga anggota komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bekasi. Doa terbaik untuk BA maupun orang tua atau keluarga terus mengalir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kemarin, pasien anak BA (7) sudah berada di rumah duka. Sejak dirawat hingga menghembuskan napas terakhir, keluarga menyebut belum dan tidak menerima informasi apa penyebab BA didiagnosis mati batang otak usai menjalani operasi amandel.
Sementara pihak RS Kartika Husada Jatiasih juga menyampaikan bahwa penyebab BA didiagnosa mati batang otak pada hari ke empat perawatan usai operasi dan tak sadarkan diri masih harus dipastikan dengan pemeriksaan penunjang.
Diagnosa awal dilihat berdasarkan kondisi fisik pasien, tidak ada kemampuan bernapas spontan saat tekanan oksigen pada ventilator diturunkan.
Tiga dokter bagian dari manajemen RS yang memberikan keterangan resmi mengaku secara etik tidak memiliki kapasitas untuk menjelaskan perihal diagnosa mati batang otak yang dialami BA.
Tim dokter yang menangani pasien selama di RS (DPJP) tidak bisa dihadirkan lantaran memenuhi panggilan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bekasi.
Komisaris RS Kartika Husada, Nidya Kartika menyebut bahwa operasi amandel memang salah satu faktor resiko terjadinya mati batang otak. Namun, ada kemungkinan lain yang tidak bisa dikesampingkan.
Ia menjelaskan bahwa setiap tindakan medis memiliki resiko, dan telah disampaikan oleh pihak RS kepada keluarga pasien.
Untuk memastikannya, perlu dilakukan pembuktian dengan fasilitas penunjang pemeriksaan seperti CT Scan dan MRI.
Pemeriksaan penunjang ini kata Nidya, bagian dari tujuan pasien dirujuk ke RS lain dengan fasilitas lebih lengkap. Pemeriksaan tersebut tidak bisa dilakukan di RS Kartika Husada Jatiasih.
“Ada pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan, dan itu tidak bisa disini,” ungkapnya.
Sementara untuk dirujuk ke RS lain, kondisi pasien sejak hari pertama pasca operasi tidak memungkinkan untuk dipindah atau Nontransportable.
Termasuk resiko saat dilakukan pemindahan pasien dari RS Kartika Husada Jatiasih ke RS lain sudah disampaikan oleh pihak RS.
Disampaikan bahwa pihak RS telah mencari lebih dari 80 RS untuk merujuk BA dengan jaminan pembiayaan umum di seluruh wilayah Jabodetabek.
Namun, belum berhasil lantaran kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dipindahkan.
Alasan yang lain, adalah proses hukum yang hingga saat ini tengah berjalan.
“Itu lah kesulitan kami sebenarnya, kami sudah berupaya berdiskusi dengan keluarga pasien. Ini sudah viral, jadi rumah sakit manapun pasti sulit ya, nanti kena getahnya kan istilahnya,” paparnya.
Sedangkan terkait dengan permintaan rekam medis, disebutkan bahwa rekam medis tidak bisa diberikan kepada siapapun.
Dalam hal ini disampaikan bahwa rekam medis adalah hak RS, hanya bisa diberikan untuk keperluan penyidikan.
Meski tidak boleh diberikan kepada siapapun, namun isi rekam medis telah diberitahukan kepada keluarga.
“Dimana rekam medik itu mereka minta diberikan kepada mereka, dimana itu tidak bisa sama sekali. Rekam medis adalah hak milik rumah sakit, hanya bisa diberikan kepada penyidik jika nanti diperlukan saat terjadi penyidikan,” tambahnya.
Sejauh ini kata dia, pihak RS telah mengumpulkan informasi menyeluruh dari dokter hingga manajemen, menginformasikan kondisi medis hingga resiko selama BA dirawat, mempersiapkan fasilitas penunjang untuk meminimalisir resiko jika BA dirujuk, mengumpulkan jurnal kesehatan untuk mencari alternatif terapi, bersurat kepada kolega untuk mengirimkan konsultan, hingga berkomunikasi dengan keluarga pasien.
Tim investigasi telah dibentuk oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bekasi. Tim tersebut terdiri dari beberapa dokter, akan mendalami kasus ini.
“Kita membentuk tim investigasi. Sesuai PP 47 terdiri dari Dinkes, IDI, IDAI, Konsumen THT, dan anestesi,” ungkap Kabid Yankes Dinkes Kota Bekasi, Fikri Firdaus.
Terkait dengan apa yang menimpa anak usia 7 tahun ini, Penasehat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Perwil Bekasi, Triza Arif Santosa menyampaikan bahwa IDAI bersedia memberikan pendampingan.
Untuk mendengar kronologis secara utuh, pihaknya perlu mendengarkan keterangan terkait dengan dokter anak yang menangani pasien usia menjalani operasi.
“Kalau dibutuhkan pendampingan, tentu IDAI akan memberikan pendampingan, dan ada saksi ahli dari IDAI,” ucapnya.
Apa Kata Anggota DPRD Kota Bekasi?
Peristiwa yang menimpa BA jangan sampai terulang, investigasi juga ditekankan oleh Anggota Komisi IV DPRD Kota Bekasi, Heri Purnomo untuk dilakukan secara serius.
Investigasi untuk membuka penyebab diagnosa mati batang otak ini, kata Bung Herpur sapaan akrabnya, disampaikan awal pekan saat rapat dengan Dinkes Kota Bekasi.
“Kalau memang ada kelalaian, kesalahan prosedur sesuai dengan etika kedokteran misalnya, harus dikasih sanksi yang tegas. Baik pihak rumah sakit maupun dokter yang merawat, atau jajaran manajemen rumah sakit,” tegas Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan Kota Bekasi ini.
Lebih lanjut Politisi Kalimalang yang juga Ketua PA GmnI Kota Bekasi ini mengatakan bahwa proses investigasi harus dilakukan secara transparan agar melihat dengan jernih apa yang terjadi, serta membuka apapun hasil yang ditemukan oleh tim investigasi.
“Kasus ini menurut saya harus bisa menjadi pembelajaran bagi pelayanan kesehatan di Kota Bekasi. Makanya saya berharap pihak Dinas Kesehatan serius untuk menangani kasus tersebut, kalau perlu investigasi perlu melibatkan beberapa pihak, diantaranya Dinkes dan organisasi-organisasi profesi. Kita terbuka saja, jadi kedua belah pihak juga jangan sampai ada yang dirugikan,” tutupnya. (mar)