Setelah Presiden Prabowo Subianto melantik 961 kepala daerah dan wakil kepala daerah hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 di Istana Kepresidenan Jakarta kamis 20 Februari 2025, kepala daerah akan menjalani retreat atau orientasi khusus di Akademi Militer (Akmil) Magelang Jawa Tengah.
Retreat itu akan diadakan selama sepekan mulai tanggal 21 hingga 28 Februari 2025. Para kepala daerah akan mengikuti berbagai pembekalan intensif yang dirancang untuk memperkuat pemahaman mereka tentang tugas pemerintahan dan pembangunan daerah.
Agenda kegiatan retreat ini diinisiasi Presiden melalui Kementerian Dalam Negeri dengan dukungan dari Akademi Militer.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Retreat ini bertujuan untuk menyelaraskan visi kepala daerah dengan program pemerintah pusat, memperkuat koordinasi antar wilayah, serta meningkatkan kapasitas kepemimpinan kepala daerah.
Namun, sejumlah pihak mempertanyakan aturan dan regulasi retreat itu yang secara eksplisit mewajibkan kepala daerah untuk menghadiri pertemuan semacam itu.
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memang mengatur hubungan antara pusat dan daerah, tetapi tidak mencantumkan kewajiban kepala daerah untuk mengikuti setiap pertemuan yang diinisiasi oleh Presiden.
Secara teoretis dan konsep hukum, kepala daerah memiliki otonomi dalam mengambil keputusan terkait kehadiran mereka dalam sebuah acara yang tidak memiliki dasar hukum yang mengikat.
Sebagaimana, ketentuan dalam Pasal 18 ayat (1) dan (2) UUD 1945, diatur kedudukan dari kepala daerah adalah sebagai pemerintah daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonomnya dan diberikan kewenangan oleh undang-undang yaitu UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah untuk mengatur urusan pemerintahan daerah sesuai dengan asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya, dimana dalam pelaksanaan pemerintahan daerah ini kepala daerah dibantu oleh wakil kepala daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah dalam penyelenggaraan rumah tangga daerah.
Tetapi, ada faktor lain yang perlu diperhitungkan, yaitu faktor politik dan etika pemerintahan yang dalam konteks politik, ketidakhadiran kepala daerah dalam retreat kemiliteran yang diadakan oleh Presiden bisa dianggap sebagai sikap yang kurang kooperatif. Ini bisa menimbulkan persepsi negatif, baik dari pemerintah pusat maupun publik.
Dalam sistem pemerintahan kita yang masih sangat bergantung pada koordinasi pusat-daerah, hubungan yang harmonis dengan pemerintah pusat tentu menjadi aspek yang penting bagi kepala daerah dalam menjalankan tugasnya.
Dari sudut pandang etika pemerintahan, mengikuti retreat bisa dilihat sebagai bentuk penghormatan kepada Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Meskipun tidak ada kewajiban hukum, secara moral kepala daerah tetap memiliki tanggung jawab untuk berkoordinasi dengan pusat demi kepentingan masyarakat yang mereka pimpin.
Pada hakekatnya, etika pemerintahan bersumber dari peraturan perundang-undangan, nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai sosial budaya yang berasal dari kehidupan bermasyarakat serta berasal dari adat kebiasaan dan sejenis dengan itu.
Pemerintah sebagai alat kelengkapan sebuah organisasi modern yang mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk dapat merealisasikan cita-cita negara harus memiliki keinginan yang kuat dan menanamkan nilai etis dalam diri aparatur agar cita-cita negara dapat terwujud. (Kumorotomo, 1992).
Oleh karena itu, kewajiban merupakan ukuran utama etika pemerintahan untuk menjadi aparatur pemerintahan yang baik syarat utamanya adalah menunaikan tugas dan tanggungjawabnya dengan memegang teguh kode etik yang ada di dalam organisasi pemerintahan.
Menilai tindakan kepala daerah yang menolak menghadiri retreat bisa memiliki beberapa konsekuensi, baik langsung maupun tidak langsung.
Salah satunya adalah kesulitan dalam mendapatkan dukungan dari pemerintah pusat dalam hal anggaran, proyek strategis, atau kebijakan tertentu yang membutuhkan sinergi antara pusat dan daerah.
Seorang kepala daerah yang dianggap tidak sejalan dengan pemerintah pusat bisa saja mengalami hambatan dalam mengakses bantuan atau fasilitas yang diberikan oleh pemerintah pusat.
Selain itu, ketidakhadiran dalam retreat bisa menciptakan kesan bahwa kepala daerah tersebut tidak memiliki komitmen yang kuat dalam menyelaraskan kebijakan daerah dengan kebijakan nasional.
Dalam dunia politik yang penuh dengan dinamika, kesan semacam ini bisa berdampak pada popularitas dan kredibilitas seorang kepala daerah di mata publik.
Lalu, penilaian apakah penolakan menghadiri retreat tersebut, kepala daerah tidak sesuai dengan norma etika pemerintahan adalah bukan hal mudah.
Umumnya, orang menilai suatu perbuatan disebut bermoral atau beretika apabila tindakan atau perbuatan tersebut memiliki tujuan yang baik, tidak merugikan orang lain ataupun diri sendiri, tidak melakukan perbuatan melawan hukum, tidak mementingkan diri sendiri serta menjunjung tinggi harkat dan martabat sebagai kepala daerah.
Berkaitan dengan pernyataan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menginstruksikan para kepala daerah yang diusung partainya untuk tidak menghadiri acara pembekalan atau retreat di Akademi Militer Magelang, Jawa Tengah.
Retreat kepala daerah dijadwalkan berlangsung mulai hari ini, Jumat, 21 Februari sampai 28 Februari 2025. (TEMPO.CO, Jakarta-21 Februari 2025).
Instruksi ini tentu saja menambah dinamika politik di tanah air. Bagi kepala daerah dari PDI Perjuangan, instruksi tersebut bisa menjadi dilema antara mengikuti arahan partai atau menjaga hubungan baik dengan pemerintah pusat.
Instruksi Megawati ini memperlihatkan bahwa retreat yang diadakan Presiden bukan sekadar ajang koordinasi biasa, tetapi juga memiliki nuansa politik yang kuat.
Hal ini menunjukkan bagaimana hubungan antara partai politik dan pemerintahan pusat bisa memengaruhi keputusan kepala daerah dalam menghadiri atau tidak menghadiri suatu acara.
Namun, bukan berarti kepala daerah harus selalu mengikuti setiap agenda pusat tanpa mempertimbangkan kepentingan daerahnya sendiri.
Ada kalanya kepala daerah memiliki alasan yang sah untuk tidak hadir, misalnya karena ada urgensi di daerah yang membutuhkan perhatian langsung.
Dalam kasus seperti ini, yang terpenting adalah komunikasi yang baik dengan pemerintah pusat, sehingga ketidakhadiran tidak diartikan sebagai bentuk pembangkangan atau ketidakpedulian.
Dalam sistem desentralisasi yang dianut Indonesia, hubungan antara pusat dan daerah seharusnya bersifat fleksibel dan tidak terlalu kaku. Antara pusat dan daerah tidak hanya berdasarkan penyebaran kekuasaan melainkan juga pemisahan kekuasaan.
Pemerintah daerah otonom memiliki status badan hukum publik dengan kekayaan yang terpisah dari negara, tetapi masih merupakan bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia.
Bahkan ditegaskan, kewenangan daerah otonom dibatasi oleh kewenangan pusat, dan setiap tindakan harus sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Hubungan antara pusat dan daerah melibatkan empat aspek penting: hubungan kewenangan, kelembagaan, keuangan, dan pengawasan.
Pembagian kewenangan akan berpengaruh signifikan terhadap sejauh mana kedua entitas ini dapat menyelenggarakan urusannya.
Kontrol yang sama namun otoritas yang berbeda antara presiden dan kepala daerah merupakan konsekuensi logis dari pemberdayaan demi menjaga keutuhan NKRI. (Nurhalizah, 2022).
Kepala daerah memiliki otonomi dalam menjalankan kebijakan di wilayahnya, meskipun tetap harus selaras dengan kebijakan nasional.
Retreat kepala daerah yang diadakan Presiden memang penting, tetapi bukan satu-satunya cara untuk memastikan keselarasan antara pusat dan daerah.
Sebagai pemimpin daerah, kepala daerah juga memiliki hak untuk menentukan prioritasnya sendiri. Ada kalanya mereka harus memilih antara menghadiri pertemuan nasional atau menangani langsung masalah yang sedang terjadi di daerah mereka.
Pilihan ini tidak selalu mudah, karena setiap keputusan memiliki konsekuensi politik dan etika pemerintahan yang perlu dipertimbangkan dengan matang.
Ketentuan yang sebenarnya dalam konteks aturan dan regulasi, maka jawabannya jelas bahwa kepala daerah tidak wajib mengikuti retreat yang diadakan oleh Presiden Prabowo. Tidak ada aturan yang mengikat kepala daerah untuk hadir.
Jika melihat dari perspektif politik, etika dan hubungan pemerintahan, kehadiran kepala daerah dalam retreat lebih bersifat ajakan atau undangan daripada sebuah keharusan yang memiliki konsekuensi hukum jika tidak dipenuhi.
Keputusan untuk hadir atau tidak dalam retreat adalah bagian dari strategi politik dan kepemimpinan masing-masing kepala daerah.
Kepala daerah pada pokoknya harus menimbang berbagai faktor, mulai dari kepentingan daerah, hubungan dengan pemerintah pusat, sehingga dampak jangka panjang terhadap kepemimpinan mereka sendiri.
Sebenarnya, segala yang terpenting adalah bagaimana kepala daerah mampu menjalankan tugasnya dengan baik menjalankan hubungan kewenangan, kelembagaan, keuangan, dan pengawasan antara pusat dan daerah yang bersifat fleksibel dan tidak kaku serta kepala daerah tidak melakukan perbuatan korupsi.
Penulis : NAUPAL AL RASYID, SH., MH (Direktur LBH FRAKSI ’98)
Editor : Bung Ewox