Pelanggaran administrasi merupakan salah satu jenis pelanggaran yang sering kali ditemukan pada tahapan sebelum penetapan pasangan calon dalam Pilkada.
Pada tahapan ini sering timbul kegiatan yang menganggu ketertiban dan kondusifitas pelaksanaan Pilkada dengan masih sering terjadi pelanggaran administrasi dan konsekuensi atas pelanggaran administrasi tersebut, tetapi belum mengimplementasikan adanya sanksi administrasi Pilkada.
Pengaturan pelanggaran administrasi bakal pasangan calon diatur dalam Pasal 138 UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, diuraikan meliputi terhadap aturan hukum administrasi tentang administrasi kampanye, aturan tentang administrasi pencalonan, aturan administrasi verifikasi bakal calon dan administrasi pemungutan suara di luar tindak pidana pemilihan dan pelanggaran kode etik.
Pelanggaran ini menjadi salah satu fakta terjadinya ketidakefektifan dalam pengaturan penanganan pelanggaran administrasi Pilkada, dimana seharusnya tujuan penanganan pelanggaran administrasi adalah untuk mengembalikan kesalahan prosedur, menuju perbaikan sehinggga pelanggaran administrasi tidak terjadi atau tidak terulang.
Rumusan norma pelanggaran administrasi dalam Pasal 138 UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mengatur empat kualifikasi unsur-unsur.
Pertama, kualifikasi pelanggarannya bersifat opsional, yaitu tata cara, prosedur dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi. Kedua, kualifikasi objek pelanggarannya berkenaan administrasi pelaksanaan Pilkada.
Ketiga, lingkup pelanggarannya terbatas pada tahapan penyelengaraan Pilkada. Keempat, pelanggaran administrasi Pilkada tidak termasuk tindak pidana Pilkada dab pelanggaran kode etik.
Selanjutnya untuk implementasi pelanggaran administrasi dalam defenisi yang lebih realistis tentunya melalui Peraturan KPU atau Peraturan Bawaslu dalam konteks pelaksanaan ius constitutum (pelaksanaan hukum dalam Pilkada).
Adapun pengaturan yang lebih realistis, maka potensi pelanggaran administrasi yang akan muncul di setiap tahapan Pilkada, termasuk tahapan saat pasangan calon yang masih diklasifikasikan bakal pasangan calon Pilkada dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan pelanggaran administrasi.
Meski begitu, ada kritik mengenai kualifikasi unsur pelanggaran administrasi yang menurut Ratna Dewi Pettalolo (2019), perbedaan jenis pelanggaran administrasi tersebut oleh pembentuk undang-undang tidak merumuskan kriteria hukum baik dalam batang tubuh maupun dalam penjelasan pasal demi pasal.
Hal ini membingungkan, karena sulit dibedakan dalam tataran praktik penyelenggaraan Pilkada. Lebih lanjut diungkapkannya sebagai berikut:
“Jika dikaitkan dengan konsep hukum yang berlaku universal, pelanggaran terhadap kaidah-kaidah dan asas-asas hukum prosedural dan dengan demikian pelanggaran terhadap tata cara dan mekanisme termasuk sebagai bentuk pelanggaran prosedur hukum,".
Pelanggaran administrasi Pilkada merupakan pelanggaran terhadap prosedur administrasi pelaksanaan Pilkada sudah tepat, namun berlebih atau mubasir ditambah tata cara mekanisme.
Untuk memahami secara utuh tentang konsepsi dasar pelanggaran administrasi Pilkada ini, maka cara yang dapat dilakukan adalah memahaminya dari sisi konsep dasarnya (divergen) dengan menganalisa dan membahas yang kemudian digeneralisasi sebagai suatu konsep yang dituju (konvergen) dalam dimensi penegakan hukum.
Konsepsi pelanggaran ini, salah satu yang disorot adalah aktivitas pasangan calon bersifat kampanye yang mengakibatkan tindakan secara substansi termasuk bagian pelanggaran administrasi yang belum dapat ditindak dan diberi sanksi oleh peyelenggara baik KPU dan Bawaslu.
Asumsi penyelengara dengan dalil belum adanya aturan hukum yang menyebabkan tidak dapat menindak pelanggaran oleh bakal pasangan calon, ini perlu kepastian hukum tentang kerangka hukum terhadap asumsi kekosongan hukum dan dalam rangka memberikan kepastian hukum dalam upaya penegakan hukum tentang pelanggaran administrasi Pilkada.
Mengutip pendapat Sudikno Mertokusumo (2002), bahwa ada tiga dimensi yang hendak diwujudkan dalam sebuah proses penegakan hukum yakni, 1) Kepastian hukum, 2) kemanfaatan hukum, 3) keadilan.
Sehingga dimensi hukum dan keadilan merupakan dua kata kunci yang tidak dapat dipisahkan dalam upaya penegakan hukum administrasi Pilkada yang dilakukan oleh bakal pasangan calon harus berorientasi pada tercapainya kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan hukum proses pelaksanaan Pilkada bagi semua pihak yang terlibat.
Sedangkan dalam aspek kepastian hukum, fakta adanya kegiatan dan sosialisasi bernuansa kampanye yang berpotensi melahirkan pelanggaran oleh bakal pasangan calon dalam penegakan hukumnya harus berorientasi pada kepastian hukum.
Pelanggaran administrasi konteks ini ada dua pendekatan yang dapat dilakukan penyelenggara untuk memperoleh kepastian hukum.
Pendekatan pertama, seperti yang diuraikan di atas bahwa dengan prinsip hukum progresif, penyelenggara dapat melakukan terobosan hukum dalam rangka penegakan hukum administrasi.
Terobosan hukum dapat ditempuh dengan interpretasi hukum atas norma yang sudah ada. Salah satu upaya interpretasi hukum itu adalah memberikan pemaknaan yang lebih luas terhadap pemberlakuan tentang larangan-larangan dalam berkampanye yang tidak hanya berlaku pada saat menjadi pasangan calon, namun ketentuan tersebut juga meliputi semua aktivitas yang memiliki substansi kampanye pada tahapan Pilkada, maupun termasuk tahapan pendaftaran pasangan calon.
Salah satu norma tentang hal-hal yang dilarang dalam kampanye terdapat pada pasal 69 UU No. 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada.
Bahwa dalam pasal tersebut, diatur hal-hal yang dilarang dalam kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba partai politik, perseorangan dan /atau kelompok masyarakat.
Pendekatan Kedua, dalam melahirkan kepastian hukum penegakan hukum administrasi adalah penyelenggara Pilkada baik KPU maupun Bawaslu dengan segala kewenangannya dapat menemukan dan melahirkan hukum baru atas adanya fakta potensi pelanggaran administrasi yang dilakukan oleh bakal pasangan calon.
Kewenangan KPU dan Bawaslu untuk menerbitkan ketentuan yang bersifat teknis pelaksanaan dengan maksud dan tujuan dalam turunan UU Pilkada, termasuk dalam hal penegakan hukum administrasi.
Adanya kewenangan yang diberikan kepada KPU dan Bawaslu untuk menyusun dan menerbitkan pengaturan teknis di bawah undang-undang bertujuan untuk mempertegas prinsip-prinsip umum yang tertera dalam UU Pilkada serta mepermudah implementasi dari prinsip-prinsip yang ada dalam ketentuan UU Pilkada. (Irvan Mawardi, 2019).
Selanjutnya dimensi kemanfaatan hukum, maka diperlukan tindakan yang tegas dari penyelenggara terhadap terjadinya pelanggaran administrasi.
Nilai kemanfaatan harus menjadi indikator penting dalam penegakan hukum dan penyelesaian hukum, yakin selain kemanfaatan bagi para pelaku juga lebih penting lagi kemanfaatan bagi masyarakat.
Selama ini fokus penegakan hukum lebih menekan kepada kepastian hukum, namun melupakan tujuan hukum dimensi keadilan dan kemanfaatan.
Penindakan terhadap bakal pasangan calon yang diduga melakukan pelanggaran aturan Pilkada, maka tindakan tersebut akan memberikan dampak harmonis dan kedamaian di tengah suasana kontestasi tahapan Pilkada.
Dengan demikan, penindakan pelanggaran administrasi tidak sekedar memberikan kepastian hukum namun juga mengimplementasikan kemanfaatan hukum berupa lahirnya nuansa harmonis dan ketertiban dalam Pilkada.
Selain dimensi kepastian dan kemanfaatan hukum, penegakan terhadap bakal pasangan calon yang melakukan dugaan pelanggaran juga bertujuan untuk mencapai keadilan hukum Pilkada (electoral justice).
Sebaliknya, pembiaran terhadap pelanggaran administrasi yang terjadi dalam Pilkada dan menutup akses bagi masyarakat kepada penyelenggara terhadap penyelesaian dugaan pelanggaran administrasi adalah bagian yang tidak memenuhi hak-hak politik dalam melaksanakan Pilkada.
Oleh karena itu, penyelenggara tidak perlu ragu untuk memberi penindakan dan sanksi administrasi bagi bakal pasangan calon yang terbukti melakukan pelanggaran administrasi di seluruh tahapan Pilkada yang merupakan pelanggaran terhadap prosedur administrasi pelaksanaan Pilkada tetapi tidak dibatasi hanya pada tata cara mekanisme administrasi saja.
Tak kalah penting juga, dibutuhkan upaya pencegahan, penindakan terhadap berbagai pelanggaran administrasi Pilkada dan penyelesaian pelanggaran proses Pilkada oleh KPU dan Bawaslu beserta seluruh jajarannya.
Tujuannya tidak lain adalah untuk memastikan dan menjamin Pilkada itu mewujudkan pelanggaran administrasi dalam sebuah proses penegakan hukum yang berkepastian, bermanfaat dan keadilan hukum.
Penulis : Naupal Al Rasyid, SH., MH (Direktur LBH FRAKSI ’98)
Editor : Bung Ewox