Tindak pidana pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan salah satu tindak pidana khusus yang menjadi aturan khusus (lex spesialis), dikarenakan bentuk-bentuk dari pelanggaran Pilkada itu sendiri sudah berbagai macam yang dapat dilakukan oleh berbagai pihak yang terkait.
Ketentuannya diatur pada Pasal 177 sampai dengan Pasal 198 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada), mengatur terkait pemberian sanksi bagi para pelaku tindak pidana Pilkada.
Salah satu tindak pidananya ialah dalam bentuk kampanye hitam (black campaign). Menurut Dan Nimmo (2009), jenis negative campaign dan black campaign merupakan jenis kampanye yang mempunyai persamaan dalam hal sifatnya, yakni menyerang pihak lain sebagai lawan politiknya atau yang dikenal dengan istilah attacking campaign. Hanya saja memang antara keduanya ada perbedaan yang signifikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Seperti yang telah disebutkan di atas, negative campaign melakukan penyerangan terhadap kelemahan lawan politik, yang mana kelemahan tersebut merupakan sebuah fakta yang dapat dipertanggungjawabkan.
Sedangkan black campaign melakukan penyerangan terhadap lawan politik dengan sengaja menciptakan kebohongan atau fitnah yang tentu saja tidak dapat dipertanggungjawabkan dengan tujuan demi mendapatkan keuntungan politik yang dikehendaki.
Perbuatan black campaign pada dasarnya sudah sejak dahulu dilakukan dengan cara dan alat black campaign dilakukan seperti penyebaran gosip, isu atau rumor melalui media dari mulut ke mulut dan brosur, sehingga dikenal dengan istilah whispering campaign, yang berarti kampanye melalui mulut ke mulut.
Pada konteks perkembangannya, black campaign tidak hanya selalu dilakukan melalui mulut ke mulut saja, tetapi sudah merambah melalui penggunaan media lain seperti media massa berupa media cetak maupun media elektronik yang masih tetap mendominasi hingga saat ini, dan kemudian lebih merambah lagi hingga pada pemanfaatan teknologi yang lebih canggih seperti media sosial yang real time dan tidak dapat dibatasi penggunaannya.
Konstruksi hukum bentuk ini, dari tindak pidana black campaign berdasarkan ketentuan Pilkada yang berpedoman pada ketentuan peraturan UU Pilkada.
Norma hukumnya telah mengatur kampanye-kampanye yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan yang dituangkan dalam Pasal 69 UU Pilkada, yang menguraikan bahwa dalam kampanye dilarang sebagai berikut:
- Mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, Calon Gubernur, Calon Bupati, Calon Walikota, dan/atau Partai Politik;
- Melakukan Kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba Partai Politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat;
- Menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada perseorangan, kelompok masyarakat dan/atau Partai Politik;
- Mengganggu keamanan, ketenteraman, dan ketertiban umum;
- Mengancam dan menganjurkan penggunaan kekerasan untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan yang sah;
- Merusak dan/atau menghilangkan alat peraga Kampanye;
- Menggunakan fasilitas dan anggaran Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
- Menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan;
- Melakukan pawai yang dilakukan dengan berjalan kaki dan/atau dengan kendaraan di jalan raya; dan/atau
- Melakukan kegiatan Kampanye di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota;
Berdasarkan bentuk larangan dalam kampanye tersebut, beberapa perbuatan dapat digolongkan sebagai bentuk black campaign apabila perbuatan tersebut ditujukan untuk menjatuhkan lawan politik.
Menjatuhkan lawan politik sebagai tujuan dari black campaign pada dasarnya dapat dilakukan dengan berbagai macam cara.
Jika mengacu pada ketentuan di atas, maka secara sempit kita bisa melihat beberapa bentuk pelanggaran yang sifatnya menyerang peserta Pilkada lainnya/lawan politik antara lain menghina, mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan, merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye, dan membawa atau menggunakan gambar dan/atau atribut pasangan calon lain. (Muhammad Rizaldi, 2014).
Sesuai dengan Pasal 69 huruf c UU Pilkada yang telah diuraikan di atas, maka dapat dipahami bahwa terdapat beberapa bentuk black campaign yang dapat terjadi pada proses kampanye Pilkada yang masuk dalam bagian tindak pidana.
Bentuk-bentuk tindak pidana black campaign menurut UU Pilkada diantaranya itu black campaign dengan cara menghasut, memfitnah dan juga dengan cara mengadu domba. Adapun, ketiga bentuk black campaign tersebut dapat dipidana dengan menggunakan UU Pilkada.
Bentuk black campaign ini dapat merujuk pada Pasal 69 huruf c dikarenakan pada penjelasan atas pasal tersebut menyebutkan “Ketentuan dalam huruf ini dikenal dengan istilah kampanye hitam atau black campaign”.
Untuk itu, tegaslah bentuk-bentuk black campaign dalam Pilkada adalah dalam bentuk menghasut, memfitnah dan mengadu domba.
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa tindak pidana Pilkada ini pengaturan pertanggungjawaban pidana diatur secara khusus di dalam UU Pilkada.
Hukum pidana khusus merupakan bagian dari hukum pidana yang tersebar dalam berbagai undang-undang yang dibentuk untuk mengatur materi hukum secara khusus dalam UU Pilkada.
Selain memuat materi hukum pidana materiil juga memuat materi hukum pidana formil, atau dengan kata lain hukum pidana khusus memuat norma dan sanksi pidana yang tidak diatur dalam KUHP dan juga memuat aturan hukum acara yang menyimpang dari ketentuan yang ada dalam KUHAP. (Ruslan Renggong, 2017).
Sebab itu, perlu diketahui mengenakan sanksi pidana (pertanggungjawaban pidana) kepada pelaku tindak pidana black campaign pada penyelenggaraan pemilu kepala daerah dengan menggunakan media sosial jika beracuan pada Undang-Undang Pilkada, maka sanksi itu dapat dikenakan kepada pelaku sebagaimana uraian Pasal 187 ayat (2) UU Pilkada, yang menyebutkan sebagai berikut:
“Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, atau huruf f dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000.00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 6.000.000.00 (enam juta rupiah)”.
Menurut Adami Chazawi (2018), terkait pertanggungjawaban pidana termasuk kepada pelaku tindak pidana black campaign pada Pilkada, bahwa kemampuan bertanggung jawab bukan merupakan unsur tindak pidana.
Harus dibedakan dan ada pemisahan yang jelas antara tindak pidana dan dapat dipidananya pembuat. Terjadi atau terwujudnya tindak pidana secara konkret syaratnya ialah jika semua unsur yang dicantumkan dalam rumusan telah terdapat atau terpenuhi oleh perbuatan seseorang.
Sementara itu, untuk dipidananya pembuat tadi ia harus mampu bertanggungjawab. Sebagaimana Moeljatno menyampaikan bahwa “dalam perbuatan pidana yang menjadi pusat adalah perbuatannya, dalam pertangung jawab sebaliknya, yang menjadi pusat adalah orang yang melakukan perbuatan”.
Dasar mengenai terjadinya tindak pidana adalah asas legalitas berbeda dengan mengenai dapatnya dipidana pembuat yang menganut asas tiada pidana tanpa kesalahan.
Setelah terwujudnya tindak pidana kampanye hitam atau black campaign, barulah dilihat apakah orang pembuatnya tadi ada pertanggungjawaban ataupun tidak, dalam arti yaitu ada kesalahan ataukah tidak pada pembuatnya tersebut.
Hanya terhadap orang yang dipersalahkan saja yang dapat dibebani tanggung jawab pidana. Hal ini, baru dipersoalkan dalam hal untuk menetapkan amar putusan oleh hakim agar putusan itu mencapai derajat keadilan yang setinggi-tingginya.
Dalam praktik hukum memang demikian, baru menjadi persoalan setelah ada keragu-raguan tentang jiwa si pembuat, apakah dapat atau tidak dapatnya dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan yang dilakukannya itu.
Oleh karena itu, persepsi mengenai pertanggungjawaban pidana termasuk kepada pelaku tindak pidana black campaign pada Pilkada haruslah diluruskan dan diselaraskan agar pemberlakuannya tidak menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan bagi masyarakat.
Sehingga, sudah sepantasnya bagi pelaku tindak pidana black campaign Pilkada diberikan sanksi pidana sebagaimana ketentuan pidana aturan terkait mengaturnya.
Pertanggungjawaban pidana kepada para oknum pelaku tersebut dapat dalam bentuk pidana penjara ataupun denda.
Besarnya denda atau lamanya pidana penjara yang dikenakan kepada pelaku menurut Undang-Undang Pilkada hanya mengatur maksimal pidana penjara 18 (delapan belas) bulan atau 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp. 6.000.000 (enam juta rupiah).
Berbanding terbalik dengan sanksi, sangat ringan mengingat efek dari pidana black campaign itu sendiri bukan hanya merugikan pasangan calon pemilu, melainkan juga dapat merugikan masyarakat yang mendapat informasi yang salah atas pasangan tersebut.
Seharusnya, adanya revisi Undang-Undang Pilkada terkait ketentuan pidana dalam tindak pidana black campaign pada Pilkada dengan menyesuaikan terhadap peraturan perundang-undangan lain yang terkait.
Penulis : NAUPAL AL RASYID, SH., MH (Direktur LBH FRAKSI ’98)
Editor : Bung Ewox