Bulan Muharram atau biasa disebut juga dengan bulan Asyura (Sura, bahasa Jawa) memiliki nilai tersendiri di kalangan umat Islam.
Banyak umat Nabi Muhammad yang mengetahui bahwa pada tanggal 10 Muharram memiliki keutamaan, sehingga mereka melakukan ritual ibadah atau amalan.
Sebagian orang Indonesia juga mengistilahkan, pada 10 Muharram sebagai lebarannya anak yatim.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Umat Islam mengisi bulan Muharram dengan bersandar pada anjuran Rasulullah Shallalahu ‘alaihi Wassallam yaitu memperbanyak ibadah. Di antaranya, mengerjakan puasa Tasua, dan puasa Asyura (9-10 Muharram).
Namun, banyak juga umat Islam yang terkesan biasa saja menyikapinya, meski mereka sudah mengetahui bahwa 10 Muharram memiliki kemuliaan di hadapan Allah SWT.
Di Indonesia, pada hari Asyura 10 Muharram ada yang menyambutnya dengan berbagai kegiatan tradisi/budaya. Misalnya, di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, setiap setahun sekali–sudah turun temurun diadakan tradisi memasak–berbagi bubur Asyura.
Warga bergotong-royong untuk menyajikan bubur Asyura. Bahkan, ada juga di beberapa daerah di Jawa yang melakukan tradisi berziarah ke tempat yang memiliki supranatural kuat.
Bulan Sura dianggap keramat lantaran sejumlah alasan. Selain karena termasuk bulan yang dimuliakan Allah, banyak peristiwa penting terjadi di bulan ini.
Dalam ajaran Islam, keutamaan 10 Muharram dijelaskan dalam hadist Rasulullah SAW.
Diriwayatkan Abu Qatadah RA: “Puasa hari Arafah dapat menghapuskan dosa dua tahun yang telah lepas dan akan datang, dan puasa Asyura (10 Muharram) menghapuskan dosa setahun yang lepas,” (H.R. Muslim).
Lantas kapan puasa Asyura bisa dilaksanakan? Menurut sistem penanggalan kalender Masehi, puasa Asyura pada 10 Muharram tepat hari ini, Senin 8 Agustus 2022.
Ini didasarkan pada keputusan SKB tiga menteri yang menyebutkan bahwa 1 Muharram 1444 H jatuh pada 30 Juli 2022 lalu.
Mengutip Buku Pintar Puasa Wajib dan Sunnah oleh Nur Solikhin, sebelum Islam datang, bangsa Quraisy selalu berpuasa pada hari Asyura. Tidak terkecuali Nabi Muhammad SAW yang juga melakukannya.
Sebab itu, Rasulullah menyuruh umatnya untuk berpuasa Asyura hingga hampir mewajibkannya. Namun, lambat laun keharusan puasa ini bergeser setelah syariat puasa Ramadan turun. Hukum puasa Asyura pun menjadi sunnah.
Sebegitu besar nilai puasa Asyura tidak terlepas dari peristiwa penting 10 Muharram dalam sejarah Islam. Peristiwa-peristiwa penting dimaksud antara lain:
Kisah Nabi Nuh
Allah menyelamatkan Nabi Nuh dari banjir bandang dan keluar dari kapalnya di atas Gunung Judi setelah bumi ditenggelamkan selama lima bulan.
Adapun panjang kapal Nabi Nuh menurut Ibnu Jarir al-Thabari adalah 1200 hasta (540 meter) dan lebarnya 600 hasta (270 meter).
Kapal itu dibuat tiga lantai. Lantai pertama untuk hewan ternak dan binatang buas. Lantai dua untuk manusia, dan lantai tiga untuk macam-macam burung.
Sementara menurut Ibnu Abbas, Nabi Nuh berada di kapal itu bersama 80 orang dengan keluarganya masing-masing. Mereka berada di kapal selama 150 hari.
Allah mengarahkan kapal itu ke Makkah lalu kapal tersebut berputar-putar mengelilingi Baitullah selama 40 hari. Allah kemudian mengarahkan kapal itu berlabuh di Bukit Judi.
Nabi Nuh dan para pengikutnya mulai naik ke kapal pada hari kesepuluh di bulan Rajab dan berlayar mengarungi air bah selama 150 hari hingga akhirnya kapal itu berlabuh di Bukit Judi selama satu bulan. Mereka keluar dari kapal pada tanggal 10 Muharram.
Kisah Nabi Musa
Allah menyelamatkan Nabi Musa dan pengikutnya, Bani Israil dari tentara Fir’aun. Allah menenggelamkan Fir’aun bersama tentara-tentaranya di Laut Merah.
Menurut Ibnu Katsir, mengutip pendapat beberapa mufassir, bahwa Fir’aun berada di tengah-tengah pasukan berkudanya yang berjumlah 100.000 kuda jantan berwarna hitam. Adapun jumlah keseluruhan pasukan yang menyertainya 1.600.000 orang.
Sementara jumlah Bani Israil yang dikejar tentara Fir’aun berjumlah 600.000 orang. Kemudian sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah, pada hari itu (10 Muharram), Nabi Musa yang diikuti Bani Israil menjalankan puasa.
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah berjalan melewati orang-orang Yahudi yang sedang berpuasa pada hari Asyura. Lalu Nabi SAW bertanya, “Puasa apa kalian?,”
Mereka menjawab, “Hari ini Tuhan menyelamatkan Musa dan Bani Israil dari tenggelam, sementara Fir’aun dan tentara-tentaranya ditenggelamkan.
Pada hari ini juga, Tuhan melabuhkan kapal Nuh di Bukit Judi. Oleh sebab itu, pada hari ini Nuh dan Musa berpuasa sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan mereka.
Hal itu diperjelas dalam HR Ahmad:
“Aku lebih berhak atas Musa dan lebih berhak untuk berpuasa pada hari ini.”
Selanjutnya Nabi SAW bersabda kepada para sahabatnya, “Siapa di antara kalian berniat puasa pagi hari ini, hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Siapa di antara kalian terlanjur memakan makanan yang dihidangkan keluarganya, maka ia juga menyempurnakan sisa waktu hari ini untuk berpuasa.” (HR. Ahmad)
Kisah Husain, cucu Rasulullah SAW
Husain, cucu Nabi SAW terbunuh di Karbala oleh para penghianat Kuffah, pasukan Yazid bin Mu’awiyah.
Para pembunuh tersebut di antaranya bernama Syamir bin Dzi al-Jausyan, Husain bin Numair, Zur’ah bin Syarik al-Tamimi, Khauli bin Sa’ad al-Asbahi, Sinan bin Anas, dan Mahfaz bin Tsa’labah.
Peristiwa terbunuhnya Husain di Karbala terjadi pada Jum’at, 10 Muharram 61 H (10 Oktober 680 M) dalam usia 58 tahun.
Al-Thabarani dalam bukunya Maqtal Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib mengisahkan bahwa suatu ketika, Husain bin Ali masuk ke kamar Rasulullah yang ketika itu sedang menerima wahyu.
Kemudian Husain meloncat ke atas pundak Nabi dan bermain-main di atas punggung beliau. Maka kemudian Jibril bertanya Wahai Muhammad, apa engkau mencintainya?.” Nabi pun menjawab, “Wahai Jibril, bagaimana aku tidak mencintai cucuku?.” Jibril lantas berkata kembali, “Sesungguhnya, setelah kamu wafat nanti umatmu akan membunuhnya.
“Jibril kemudian mengambil tanah berwarna putih dan memberikannya kepada Nabi seraya berkata, “Wahai Muhammad, di tanah inilah cucumu akan dibunuh.Tanah itu namanya Thaf (Karbala).”
Ketika Jibril sudah pergi, Nabi Muhammad keluar dengan membawa tanah itu sambil berkata, “Wahai ‘Aisyah, Jibril memberitahu aku bahwa Husain, cucuku akan dibunuh di tanah Thaf setelah kepergianku nanti, umatku akan menghadapi.
Dengan peristiwa-peristiwa penting dan bersejarah yang jatuh pada bulan Muharram itu, maka sejatinya umat muslim dapat memaknainya dengan berserah diri kepada Allah SWT. Yaitu dengan memperbanyak ibadah dan memohon ampunan kepada-Nya. Wallahu a’lam bishawab. (*)