Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi menggelar rapat dengan beberapa pihak untuk mencari solusi dan jalan tengah terkait dugaan tindakan intoleransi yang dilakukan oleh salah satu Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kota Bekasi yang terjadi di Jalan Siput Raya, Kelurahan Kayuringin Jaya, Kecamatan Bekasi Selatan, Kota Bekasi akhir pekan kemarin.
Ketua FKUB Kota Bekasi, Abdul Manan mengatakan bahwa rapat yang turut dihadiri oleh perwakilan Pemerintah, baik, Lurah, Camat, Kepala Kesbangpol, maupun Tokoh Agama menghasilkan beberapa poin yang akan ditindaklanjuti, salah satunya adalah mengupayakan lokasi lain untuk jemaat GMIM agar dapat beribadah dengan lancar.
“Intinya diupayakan untuk Lurah, Camat beserta Ketua PGIS (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia Setempat) dan tim, memfasilitasi untuk mencari lokasi untuk pelaksanaan ibadah, di antaranya di gereja GKO Kayuringin,” ucap Abdul Manan saat ditemui di Kantor FKUB Kota Bekasi, Senin (23/09/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebelum rapat berlangsung, kata dia, FKUB telah mencatat rentetan upaya yang dilakukan sejak Bulan Juli lalu.
Dimana, pada tanggal 28 Juli lalu pihaknya menerima informasi dari salah satu ASN yang diketahui bernama Mas Sriwati yang tinggal bersebelahan dengan rumah yang dijadikan tempat ibadah di Jalan Siput Raya.
Dalam surat perjanjian sewa rumah, diketahui rumah tersebut disewa untuk dijadikan tempat ibadah dan gereja. Keesokan harinya Abdul Manan meneruskan informasi tersebut dan berkoordinasi dengan lurah.
Selanjutnya, pada tanggal 30 Juli, Lurah mengadakan rapat bersama dengan pengurus RT, RW, maupun Mas Sriwati, maupun pemilik rumah, dan Majelis Umat Beragama (MUB) tingkat Kelurahan.
Dengan, rapat dilanjutkan oleh pengurus lingkungan bersama dengan warga pada tanggal 21 Agustus, didapati adanya penolakan dari sebagian warga jika rumah di Jalan Siput Raya tersebut digunakan sebagai tempat ibadah dan gereja.
“Lalu tanggal 26 Agustus, RW membuat laporan atas keberatan warga ini terhadap rumah yang digunakan untuk ibadah. Adapun surat tersebut ditujukan kepada pak lurah dan juga Babinsa,” tutur Abdul Manan
Selain itu, pengurus RW setempat juga telah mengirimkan surat tersebut kepada pemilik dan penyewa rumah pada tanggal 2 September. Surat tersebut menjelaskan adanya keberatan daripada warga RT 001 sampai 005.
Lantaran persoalan tersebut terus bergulir, FKUB pada tanggal 9 September menggelar rapat pleno, dilanjutkan dengan rapat yang digelar pada hari berikutnya.
Rapat pada 10 September tersebut dilaksanakan bersama dengan lurah, KUA Kecamatan Bekasi Selatan, Danramil, Kapolsek, dan MUB Kecamatan, dan hasil rapat tersebut telah dilaporkan kepada Pj Wali Kota Bekasi.
Sebelum persoalan memuncak pada 22 September, rapat terakhir sempat digelar bersama dengan panitia GMIM dan pengurus PGIS untuk mencari solusi.
Rapat tersebut menyepakati lima poin, di antaranya berupa kesepakatan untuk menjaga kondusifitas wilayah, mendukung Kota Bekasi untuk mendapat penghargaan sebagai kota toleran nomor satu, serta mencari alternatif lokasi untuk dijadikan tempat ibadah.
“Jangan sampai ada persoalan yang bisa menimbulkan perpecahan. Disamping itu juga disarankan, seyogyanya untuk coba diupayakan jemaat gereja itu bisa mencari lokasi yang tidak jauh dari situ, supaya dapat beribadah dengan lancar,” jelasnya
Pasca kejadian itu, Abdul Manan berharap kepada masyarakat Kota Bekasi dapat menjalankan kehidupan bermasyarakat dengan baik.
Kondisi demografi Kota Bekasi saat ini layak untuk disebut sebagai miniatur Indonesia, dimana ada beragam suku, etnis, dan agama yang tinggal di kota dengan 2,6 juta penduduk ini.
“Saya tentu sangat mengharapkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara itu dapat dijalankan dengan baik. Saling menghormati, saling menghargai, walaupun kita berbeda asal-usul, berbeda agama,” harapnya.
Kemudian, bilamana mengacu pada Peraturan Wali Kota tentang tata cara pendirian rumah ibadat nomor 109 tahun 2019, rumah ibadat adalah bangunan yang dibangun untuk kepentingan ibadat bagi sekelompok umat beragama.
Sedangkan izin sementara adalah izin yang diterbitkan oleh wali kota bagi bangunan yang akan diperuntukkan untuk kegiatan ibadah.
Syarat administrasi terkait dengan izin sementara pemanfaatan bangunan gedung ini meliputi izin tertulis pemilik bangunan, pernyataan tidak berkeberatan dari masyarakat lingkungan setempat paling sedikit 60 orang yang diketahui oleh RT dan RW dan disahkan oleh Lurah dengan melampirkan bukti rekaman Kartu Tanda Penduduk (KTP), rekomendasi tertulis Lurah diketahui Camat, pelaporan tertulis kepada FKUB, pelaporan tertulis kepada Kepala Kantor Kemenag Kota Bekasi, pelaporan tertulis kepada Kepala Badan Kesbangpol.
Dalam ketentuan pengganti Peraturan Wali Kota Bekasi nomor 16 tahun 2006 tersebut, penerbitan surat pemberian izin sementara dapat dilimpahkan kepada camat setelah memperhatikan pendapat tertulis kepala kantor kementerian agama dan FKUB Kota Bekasi.