Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menilai proses terhadap sengketa hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada) mengkualifikasikan pelanggaran ke dalam kategori, money politic, keterlibatan oknum pejabat atau PNS, dugaan pidana pemilu, manipulasi suara, intimidasi, dan sebagainya.
Pelanggaran seperti ini dapat membatalkan hasil pilkada sepanjang berpengaruh secara signifikan, yakni karena terjadi secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) yang ukurannya telah ditetapkan dalam berbagai putusan MK.
Untuk menemukan sejarah dinamika lahirnya doktrin TSM, maka sesungguhnya justru harus mengacu pada putusan-putusan MK yang dapat menjelaskan sejarah perkembangan konsep pelanggaran TSM dalam putusan-putusan MK terdahulu dan sampai menjadi yurisprudensi saat ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Doktrin pelanggaran Pemilu TSM mulai dikenal dalam sistem hukum di Indonesia justru terjadi pada Pemilihan Kepada Daerah yakni Putusan MK No. 41/PHPU.D-VI/2008 tentang Perkara Perselisihan Hasil Pemilu Kepala Daerah Jawa Timur Tahun 2008.
Jadi, pada dasarnya pelanggaran TSM merupakan pelanggaran pilkada biasa, tetapi karena memiliki unsur sistematis, terstruktur dan masif, sehingga pelanggaran ini dapat membatalkan hasil perhitungan oleh KPU.
Berdasarkan karakteristik TSM tersebut, maka terdapat pandangan yang menjelaskan bahwa yang dimaksud TSM menurut putusan-putusan MK yaitu:
- Pelanggaran itu bersifat sistematis, artinya pelanggaran ini benarbenar direncanakan secara matang (by design);
- Pelanggaran itu bersifat terstruktur, artinya pelanggaran ini dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun aparat penyelenggara Pilkada secara kolektif bukan aksi individual;
- Pelanggaran itu bersifat masif, artinya dampak pelanggaran ini sangat luas dan bukan sporadis. (M. Mahrus Ali, 2021).
Makna dari pelanggaran pilkada TSM tertuang dalam UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada) Pasal 135A: Pelanggaran Administrasi pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 Ayat 2 merupakan pelanggaran yang terjadi secara terstruktur, sistematis dan Masif.
Adapun bunyi Pasal 73 ayat (2) yaitu calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan bawaslu provinsi dapat dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
Sementara itu Pasal 73 ayat 1 dinyatakan bahwa calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih.
- Makna Terstruktur adalah pelanggaran yang dilakukan melibatkan aparat struktural seperti penyelenggara pemilu, struktur pemerintahan, atau struktur ASN.
- Makna Sistematis adalah pelanggaran yang dilakukan dengan perencanaan yang matang, tersusun dan rapi.
- Makna Masif adalah dampak pelanggaran bersifat luas pengaruhnya terhadap hasil pemilu dan paling sedikit terjadi disetengah wilayah pemilihan.
Lebih lanjut, secara lebih rinci kita mengenal rumpun pelanggaran dalam pilkada meliputi pelanggaran administrasi, pidana, etika dan hukum lainnya.
Dari sekian jenis pelanggaran dalam Pilkada, satu hal yang menarik dicermati mengenai pelanggaran administrasi yang terjadi secara TSM.
Pelanggaran ini telah terjadi sejak Pilkada serentak Tahun 2015 sampai dengan Pelaksanaan Pilkada serentak Tahun 2020.
Menariknya pelanggaran administrasi ini karena memiliki ciri dan karakteristik yang berbeda dari administrasi biasa.
Ciri dan karakteristik tersebut tampak pada mekanisme pembuktian dan sanksi yang dijatuhkan jika terbukti melakukan pelanggaran administrasi TSM.
Sebagaimana dalam ketentuan UU Pilkada Pasal 135A ayat (1) menegaskan bahwa pelanggaran administrasi pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) merupakan pelanggaran yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Konsepsi ketentuan Pasal 135A ayat (1) kemudian dikonkretkan ke dalam bentuk Peraturan Badan Pengawasan Pemilihan Umum Nomor 9 Tahun 2024 tentang Tata Cara Penanganan Pelanggaran Administrasi Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota Yang Terjadi Secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif (Perbawaslu TSM).
Peraturan Bawaslu yang terkait dengan pelanggaran TSM sebagai bentuk aturan teknis dalam penyelesaian pelanggaran administrasi TSM yang digunakan oleh Bawaslu tingkat provinsi.
Kehadiran Perbawaslu TSM diorientasikan untuk menghadirkan dimensi keadilan dalam penyelenggaraan Pilkada serentak 2024.
Dimana keadilan menjadi nilai yang ideal untuk dituju, mengingat satu dari sekian asas yang mendasari pelaksanaan Pilkada ialah asas adil.
Adil tidak hanya sekedar dimaknai pada tataran konseptual semata melainkan nilai adil harus menjadi bagian yang tidak bisa dilepaskan dalam penyelenggaraan Pilkada, tak ada satu pun yang bisa membantah jika ada yang berdalil bahwa keadilan adalah mahkota Pilkada, dan Pilkada ialah keadilan itu sendiri.
Oleh karena itu, segala aktivitas yang berujung pada dimensi hadirnya ketidakadilan dalam penyelenggaraan Pilkada wajib untuk diselesaikan termasuk pelanggaran administrasi TSM.
Adapun, MK memberikan putusan bahwa dalam hal ini suatu tafsir konstitusional dari MK terhadap norma mengenai kompetensi MK mengadili pelanggaran TSM.
Namun, apabila lembaga-lembaga yang diberi wewenang telah menyelesaikan maka MK tidak berwenang memeriksa dan memutus permohonan kualitatif dimaksud.
MK juga menegaskan tidak melampaui kewenangan dan pada saat yang sama MK juga tidak melanggar hukum acara karena yang menjadi titik tolak dan sekaligus tujuan akhirnya adalah agar MK tidak terhalang kewenangan konstitusionalnya mengadili perselisihan hasil pemilu.
Pada akhir petimbangan mengenai TSM, MK berpendapat menyangkut dalil yang oleh Pemohon dikelompokkan sebagai pelanggaran yang bersifat TSM, terdapat fakta-fakta:
- Pertama, ada dalil-dalil yang ternyata Pemohon tidak melaporkan atau membuat pengaduan kepada Bawaslu atau Bawaslu menyatakan tidak pernah menerima laporan ataupun mendapatkan temuan;
- Kedua, Bawaslu menerima pengaduan atau mendapatkan temuan dan telah dilakukan tindak lanjut;
- Ketiga, tidak terdapat fakta yang membuktikan bahwa Bawaslu tidak melaksanakan kewenangannya.
Terhadap dalil-dalil ini, MK berpendapat bahwa dalil yang dianggap Pemohon sebagai pelanggaran yang bersifat TSM tersebut tidak beralasan menurut hukum. (vide, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 01/PHPU-PRES/XVII/2019).
Berdasarkan uraian diatas, dinamika pengaturan yang terjadi mengenai pelanggaran TSM dalam Pilkada terjadi perkembangan preferensi yang signifikan dalam MK mengenai kompetensi mengadili pelanggaran Pilkada TSM dalam praktik.
Dari sebelumnya putusan bertendensi judicial activism dengan aktif mengadili pelanggaran TSM, khususnya pada putusan-putusan Pilkada.
Namun, saat ini terjadi pergeseran putusan menjadi bertendensi judicial restraint dengan menahan diri untuk tidak mengadili pelanggaran TSM yang telah diselesaikan Bawaslu.
Namun, ternyata MK juga mensyaratkan ketika organ yang diberikan kewenangannya tidak melaksanakan kewenangannya, maka MK akan dapat kembali mengadili penyelenggaraan Pemilu termasuk pelanggaran pikada TSM, hal ini dapat disebut MK kembali melakukan judicial activism dengan mengadili penyelenggaraan Pilkada yang bersifat TSM dalam melakukan pembatasan yudisial adalah pembatasan yudisial yang secara bersyarat (conditionally judicial restraint).
Penulis : NAUPAL AL RASYID, SH., MH (Direktur LBH FRAKSI ’98)
Editor : Bung Ewox