Isu kesehatan mental pada anak dan remaja menjadi perhatian serius Pemerintah Kota Bekasi. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) serta Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) menyoroti peran sentral keluarga dan dampak negatif penggunaan gawai (gadget) sebagai dua faktor krusial yang kini berada di garda depan penanganan.
Berbagai kasus gangguan mental di kalangan remaja dinilai tidak lepas dari longgarnya pengawasan orang tua serta pola asuh yang belum adaptif terhadap tantangan zaman digital. Pemerintah daerah kini mendorong penguatan fungsi keluarga sebagai benteng pertahanan utama untuk melindungi anak.
Akar Masalah: Pola Asuh dan Lingkungan ‘Toxic’
Kepala DP3A Kota Bekasi, dr. Satia Sriwijayanti Anggraini, menegaskan bahwa fondasi kesehatan mental anak diletakkan di dalam rumah. Menurutnya, lingkungan keluarga yang aman dan penuh kasih sayang adalah hak anak yang wajib dipenuhi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Pendidikan pertama itu ada di keluarga. Jadi, apabila di keluarga aman, pasti keluar juga aman. Maka kami mendorong, ayo kita penuhi hak-hak anak melalui pendidikan, kasih sayang, dan pola asuh yang baik,” ujar dr. Satia saat dikonfirmasi, Jumat (25/7/2025).
Senada dengan itu, Ketua KPAD Kota Bekasi, Novrian, menekankan bahwa keluarga adalah “madrasah pertama” dan sistem pendukung utama (support system) bagi anak.
“Yang paling penting adalah bagaimana supporting system dan support sosial itu ada. Ketika anak mempunyai masalah atau guncangan, dukungan utama yang ia butuhkan adalah keluarga,” tutur Novrian.
Ia menambahkan, tantangan saat ini adalah menciptakan “keluarga cerdas” yang mampu membentuk karakter anak di tengah gempuran era digital.
Dampak Nyata: Dari Gangguan Jiwa Hingga ‘Speech Delay’
Kekhawatiran di tingkat lokal ini sejalan dengan alarm yang telah dibunyikan di tingkat nasional. Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin sebelumnya menyatakan dukungan penuh terhadap pembatasan media sosial bagi anak karena dampak negatifnya yang terbukti secara klinis.
“Satu, masalah kesehatan mental, kesehatan jiwa, yang kita sudah lihat (dampaknya),” terang Menkes di Jakarta, Februari lalu.
Menurut Menkes, paparan berlebihan terhadap media sosial tidak hanya memicu perundungan (bullying) dan kecemasan, tetapi juga berdampak pada perkembangan fisik, seperti meningkatnya kasus keterlambatan bicara (speech delay) pada anak-anak di Indonesia.
Aksi Nyata di Bekasi: Dari Perda Hingga Penguatan Keluarga
Menjawab tantangan tersebut, Pemerintah Kota Bekasi mengambil langkah konkret dari dua sisi: regulasi dan pemberdayaan.
- Revisi Perda Perlindungan Anak: DPRD bersama Pemkot Bekasi tengah membahas perubahan Perda Nomor 3 Tahun 2023 tentang Perlindungan Anak. Salah satu poin utamanya adalah memasukkan aturan pembatasan penggunaan gadget, yang diusulkan langsung oleh masyarakat. “Mudah-mudahan gadget kita atur di situ, semoga penggunaannya akan berdampak lebih positif,” kata dr. Satia.
- Fokus Peningkatan Kualitas Keluarga: Program-program pemerintah akan lebih difokuskan untuk mengembalikan peran vital orang tua. “Ayo kita kembalikan lagi peranan orang tua secara fungsi. Bahwa pola didik, pola asuh, dan pembentukan karakter itu harus kita fokuskan pada peningkatan kualitas keluarga,” ulas Novrian dari KPAD.
Sejalan dengan Rencana Nasional
Langkah yang diambil Pemkot Bekasi ini selaras dengan wacana pemerintah pusat. Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid juga telah merencanakan pengkajian aturan pembatasan media sosial untuk melindungi anak dari paparan konten negatif yang semakin kompleks.
Kolaborasi antara regulasi yang kuat dari pemerintah dan benteng pertahanan yang kokoh dari keluarga diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman dan sehat bagi tumbuh kembang anak, baik secara fisik maupun mental, di Kota Bekasi dan seluruh Indonesia.
Eksplorasi konten lain dari RakyatBekasi.Com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.





























