Menjelang momen demokrasi, dinamisnya kehidupan sosial dan kerukunan beragama di Kota Bekasi kembali menjadi sorotan. Pengakuan dari SETARA Institute yang menempatkan Kota Bekasi di peringkat ke-7 Indeks Kota Toleran (IKT) 2024 menunjukkan bahwa toleransi tetap menjadi fokus meski ada tantangan yang harus dihadapi.
Di balik penghargaan tersebut, ada pula kisah mengenai insiden pelarangan ibadah yang harus terus mengingatkan bahwa toleransi adalah sebuah praktik hidup setiap hari.
Baru-baru ini, Pemerintah Kota Bekasi kembali mendapatkan pengakuan sebagai salah satu kota paling toleran di Indonesia oleh SETARA Institute.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Penghargaan yang diserahkan langsung di Jakarta pada Selasa (27/5/2025) bukanlah sekadar piala, melainkan bukti usaha berkelanjutan dalam membangun harmoni di tengah masyarakat majemuk.
Kota Bekasi, dengan populasi sekitar 2,6 juta jiwa yang terdiri dari berbagai suku, budaya, dan agama, merupakan miniatur Indonesia. Keberagaman ini seharusnya menjadi sumber kekuatan dan kebanggaan, asalkan setiap perbedaan dihargai dan dijadikan modal bersama dalam mewujudkan demokrasi yang inklusif dan nasionalisme yang menghargai perbedaan.
H. Abdul Manan, Kepala FKUB Kota Bekasi, menyampaikan bahwa penurunan peringkat dari posisi dua pada tahun sebelumnya merupakan bagian dari dinamika membina toleransi.
Menurutnya, perubahan posisi dalam indeks bukanlah ukuran absolut dari keberhasilan, melainkan sebuah refleksi evolusi dalam praktik hidup bersama.
Selain itu, Sekretaris Daerah Kota Bekasi, Junaedi, menegaskan, “Peringkat boleh turun, tetapi komitmen kami terhadap toleransi dan kerukunan umat beragama tidak akan pernah goyah.”
Pernyataan tersebut menggambarkan sikap tegas pemerintah dalam menjadikan nilai-nilai kemanusiaan dan penghormatan terhadap perbedaan sebagai fondasi utama, terlepas dari posisi dalam peringkat nasional.
Walaupun penghargaan IKT merupakan prestasi yang patut diapresiasi, realita di lapangan menyimpan cerita pilu.
Pada masa Pilkada 2024, terdapat insiden di mana seorang oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kota Bekasi melarang warga tetangga untuk melaksanakan ibadah di rumahnya sendiri.
Meskipun tindakan tersebut dilakukan secara individu dan tidak mewakili institusi, peristiwa itu merupakan tamparan keras bagi nilai-nilai toleransi yang selama ini diupayakan.
Insiden pelarangan ibadah ini mengingatkan bahwa toleransi bukan hanya angka dalam indeks, melainkan sebuah komitmen nyata dalam kehidupan masyarakat.
Sanksi tegas sesuai aturan hukum hendaknya dijatuhkan agar insiden serupa tidak terulang, sehingga demokrasi inklusif dan kebebasan beragama tetap terlindungi.
Di tengah dinamika sosial tersebut, terdapat tiga titik temu krusial yang harus dijaga bersama:
1. Keberagaman sebagai Kekuatan, Bukan Ancaman
Kota Bekasi merupakan cerminan miniatur Indonesia dengan keberagaman etnis dan agama yang seharusnya dijadikan kekuatan. Menekan ekspresi keagamaan kelompok minoritas atau menggagalkan kebebasan beribadah justru merupakan pelanggaran terhadap prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
2. Demokrasi yang Inklusif
Demokrasi yang sehat diukur dari jaminan kebebasan fundamental setiap warga, termasuk hak beribadah. Ketika hak ini dilanggar, terutama oleh oknum aparat negara, kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi lokal pun akan terkikis.
3. Nasionalisme yang Menghargai Perbedaan
Nasionalisme yang sejati menuntut kesediaan untuk hidup rukun dengan perbedaan. Komitmen dari Pemkot Bekasi harus terwujud melalui tindakan nyata, di mana aparat di semua level memahami dan menjalankan amanat konstitusi serta menindak tegas pelanggaran atas kebebasan beragama.
Sebagai respons terhadap tantangan yang ada, inspirasi dari Kota Salatiga patut dicontoh. Kota tersebut telah menerapkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Toleransi Bermasyarakat dan Penanganan Konflik Sosial.
Produk hukum seperti ini yang mampu mempromosikan toleransi secara proaktif perlu menjadi acuan bagi pemerintah daerah lainnya.
Bawaslu Kota Bekasi, yang juga menjalankan fungsi pengawasan pemilu, akan terus memantau dinamika sosial dengan cermat. Beberapa langkah strategis yang diusulkan antara lain:
- Menjaga netralitas aparatur negara dan menghindari penggunaan isu SARA untuk kepentingan politik praktis.
- Meningkatkan literasi kebangsaan dan toleransi di seluruh lapisan masyarakat, termasuk aparat di garis terdepan.
- Menegakkan hukum secara adil dan tegas terhadap pelanggaran kebebasan beragama serta tindakan intoleran.
- Mendorong dialog dan pendekatan kekeluargaan untuk menyelesaikan potensi konflik secara damai.
Langkah-langkah dengan sinergi antara pemerintah, aparat penegak hukum, tokoh agama, dan masyarakat diharapkan dapat membawa perubahan positif dalam penciptaan lingkungan yang aman dan inklusif.
Penghargaan peringkat ke-7 oleh SETARA Institute adalah modal berharga dan sekaligus tanda peringatan bahwa pembangunan toleransi adalah proses yang terus berjalan.
Insiden pelarangan ibadah adalah alarm bagi kita semua untuk tidak lengah dalam menjaga kerukunan beragama.
Keberagaman, demokrasi inklusif, dan nasionalisme yang menghargai perbedaan harus diutamakan dalam setiap aspek kehidupan di Kota Bekasi.
Mari jadikan penghargaan ini sebagai pijakan untuk terus meningkatkan kualitas hidup bersama dan memastikan bahwa setiap individu, tanpa kecuali, dapat menikmati kebebasan beribadah dan hidup dalam harmoni.
Mari bersama-sama menjaga kerukunan dan toleransi, serta terus mendukung langkah-langkah positif untuk mewujudkan Kota Bekasi yang inklusif dan bermartabat.
Eksplorasi konten lain dari Rakyat Bekasi
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
Penulis : Jhonny Sitorus [Koordinator Divisi Hukum dan Penyelesaian Sengketa, Bawaslu Kota Bekasi]
Editor : Bung Ewox