RUU TNI dan Penghormatan Terhadap Demokrasi

- Jurnalis

Senin, 17 Maret 2025 - 08:31 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Direktur LBH FRAKSI ’98 Naupal Al Rasyid, SH., MH (istimewa)

Direktur LBH FRAKSI ’98 Naupal Al Rasyid, SH., MH (istimewa)

Rancangan Undang-undang (RUU) TNI mendapat sorotan tajam yang saat ini para anggota DPR yang tergabung dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) sedang membahas revisi RUU TNI secara tertutup di Hotel Fairmont, Senayan Jakarta Pusat, sabtu 15 Maret 2025.

RUU TNI dimaksudkan untuk mengganti UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang telah berlaku 21 tahun.

RUU tersebut, mendapat kritikan 34 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi masyarakat sipil untuk Advokasi HAM Internasional (HRWG) mengecam pembahasan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG) Daniel Awigra menilai bahwa revisi ini tidak hanya mengancam profesionalisme militer, tetapi juga mengkhianati komitmen Indonesia dalam menjalankan berbagai rekomendasi PBB dan kewajiban hukum HAM internasional. (Bisnis.com, 16 Maret 2025).

Ketentuan dalam RUU TNI yang paling banyak mendapat kritikan adalah draf Pasal 47 yang ingin menambah jumlah instansi dapat diisi prajurit TNI. RUU TNI itu memuat usulan perluasan kementerian/lembaga yang boleh diduduki prajurit aktif jadi 15 dari semula 10.

Tambahan lima pos baru yang bisa ditempati TNI aktif itu meliputi kelautan dan perikanan, keamanan laut, BNPB, BNPT, dan Kejaksaan Agung.

Ketentuan draf Pasal 47 semacam ini, sebenarnya akan menjadikan RUU TNI mengalami kemunduran dibandingkan dengan UU yang berlaku sekarang yakni Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Hal ini dikarenakan dalam UU Nomor 34 Tahun 2004, justru ditekankan TNI menjunjung tinggi agar tidak ada anggota TNI yang merangkap atau mereposisi jabatan sipil pada masa dinasnya, sehingga fokus sebagai alat pertahanan negara.

Ditegaskan mengenai keterlibatan TNI terhadap jabatan sipil sendiri sebenarnya telah diatur secara jelas dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yang berbunyi, “(1) Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritannya”.

Pada Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dikatakan bahwa persyaratan utama apabila anggota/prajurit TNI dapat menduduki pos jabatan pada lembaga ataupun kementerian yang berorientasi kearah masyarakat sipil adalah telah berada pada masa pensiunnya atau mengundurkan diri dan melepaskan statusnya sebagai prajurit TNI.

Upaya ini dimaksudkan agar tidak ada anggota TNI yang merangkap atau mereposisi jabatan sipil pada masa dinasnya sehingga fokus sebagai alat pertahanan negara.

Ada beberapa cara bagi anggota TNI untuk berhenti secara hormat dari kedinasan aktifnya yaitu;

  1. Permintaan sendiri,
  2. Berakhirnya masa ikatan dinas,
  3. Menjalani masa pensiun,
  4. Tidak memenuhi persyaratan jasmani dan rohani,
  5. Gugur, tewas, atau meninggal dunia,
  6. Alih status menjadi pegawai negeri sipil,
  7. Menduduki jabatan yang menurut perundang-undangan, tidak dapat diduduki oleh seorang prajurit aktif, dan
  8. Berdasarkan pertimbangan khusus untuk kepentingan dinas.

Sebenarnya, ada beberapa alasan lain yang melatar belakangi TNI banyak melibatkan diri dalam instansi non militer.

Pada perkembangan negara secara luas, di luar fungsi utama militer sebagai pertahanan negara, militer juga memainkan peranan yang begitu penting dalam perkembangan sosial politik dan ekonomi.

Menurut Moh. Mahfud MD (2007), peran serta TNI dalam dunia politik karena berdasarkan pengalaman sejarah, pemerintahan sipil telah gagal menjalankan pemerintahan yang stabil.

Ini bisa dilihat dari perjalanan demokrasi liberal yang didukung oleh banyak parpol yang cenderung menghalangi kinerja pemerintah untuk menjadi baik, sehingga muncul berbagai pemberontakan.

TNI tidak ingin diposisikan sebagai pemadam kebakaran sehingga harus mengambil peran secara proaktif dalam mengambil keputusan politik agar negara tidak terjerumus ke dalam kehancuran karena ancaman-ancaman yang tidak diantisipasi dengan baik.

Peranan yang diambil TNI adalah ikut serta menjadi pengambil kebijakan nasional dengan cara masuk kedalam instansi-instansi pemerintahan diluar bidang militer.

Di sisi lain negara juga tidak menampik kemungkinan bila banyak dari perwira-perwira TNI yang masih berada pada usia produktif sebenarnya memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk turut serta berkontribusi dalam bidang pemerintahan.

Oleh karena itu negara juga memberikan fleksibelitas melalui Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang berbunyi, “(2) Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Kemanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search And Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung”.

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI memang secara fleksibel memberikan kesempatan kepada prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan selain dalam lembaga internal TNI.

Namun secara garis besar, terdapat limitatif bidang-bidang yang dapat diduduki oleh anggota TNI aktif yakni hanya merupakan bidang yang berhubungan dengan kemanan dan pertahanan nasional.

Hal ini menjadi alasan tersendiri bagi TNI untuk mengajukan revisi atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Revisi penting dilakukan agar penempatan TNI dalam kementerian dan lembaga non militer dapat dilakukan secara profesional dan legal.

Pernyataan ini sendiri seakan memberi isyarat bahwa dalam fase perubahan atmosfer politik, militer memiliki keterlibatan dalam menitip jabatan dalam pemerintahan, sehingga ada sebuah usaha dari kalangan militer untuk turut serta menjalankan pekerjaan sipil.

Permasalahan yang dinilai akan memicu kembali doktrin dwifungsi ABRI yang telah lama ditinggal bangsa Indonesia.

Klaim dari pemerintah adalah hal tersebut murni atas dasar permintaan kementerian atau lembaga yang membutuhkan tenaga TNI, dan bukan merupakan upaya untuk membangkitkan dwifungsi ABRI, tetapi masuk sebagai ranah proses demokratisasi. (Fathullah Syahrul, Muh. Abdi Goncing, 2019).

Akan tetapi, landasan penempatan pada jabatan sipil berdasarkan kompetensi prajurit TNI demikian justru tidak relevan menurut TB Hasanuddin anggota Komisi I DPR RI (Ikhsan Yosarie, 2023), poin penting dalam penempatan tersebut adalah tetap mengacu pada UU TNI, sebagaimana dijelaskannya bahwa justifikasi demikian justru tidak relevan.

Kalaupun penempatan TNI pada jabatan tersebut berdasarkan kapasitas, tetap harus mengacu kepada UU TNI, sesuai definisi tentara profesional di bidang pertahanan, dan sesuai matranya masing-masing.

Penempatan TNI pada jabatan sipil di luar Pasal 47 ayat (2) UU TNI, maka penempatan tersebut menyalahi peraturan perundang-undangan, kecuali sudah dilakukan revisi terhadap UU TNI tersebut. Namun tetapi revisi yang berkaitan dengan masalah pertahanan harus sesuai dengan UUD 1945.

Melihat rangkap jabatan tersebut cenderung tidak profesional dan proporsional, bukan lagi terkait pertahanan dan keamanan negara.

Hal ini akan menjadikan kesenjangan antara anggota yang lain karena tidak sama rata dalam jabatan. Apabila jabatan diluar institusinya tidak tertuang dalam pasal 47, maka dapat dikatakan bertentangan dan melanggar ketentuan tersebut.

Banyaknya penempatan TNI yang merangkap jabatan sektor sipil menimbulkan kekhawatiran bagi banyak kalangan khususnya para aktivis yang mempertahankan amanat reformasi, masyarakat sipil, dan para pakar hukum tata negara yang mempertanyakan bagaimana keabsahan rangkap jabatan TNI yang jelas menyimpang dari aturan hukum yang telah ada dan masih berlaku.

Kemudian teori tentang sistim politik, dimana dari sini muncul konsep demokrasi yang dianut di Indonesia hingga saat ini.

Kerangka negara demokrasi memiliki pandangan bahwa hubungan sipil dan militer berdasarkan pada doktrin kontrol sipil kepada militer.

Pandangan barat ini memiliki maksud bahwa TNI sebagai militer fungsi dan perannya hanya terbatas pada pertahanan dan keamanan saja yang harus mendukung kepemimpinan sipil dimana dapat diartikan sebagai aspirasi rakyat itu sendiri.

Militer dilarang untuk campur tangan dalam kehidupan politik yang dapat dianggap sebagai ancaman terhadap kebebasan rakyat dan demokrasi. (Priyosantoso, 2022).

Memang sudah seharusnya di dalam negara demokrasi seperti Indonesia ini, TNI secara profesional dan proporsional tetap kepada peran dan fungsinya yang mengemban tugas pokok sebagai alat pertahanan negara.

Sedangkan, ketentuan dalam RUU TNI draf Pasal 47 yang ingin menambah jumlah instansi hanya dapat diisi prajurit TNI seharusnya diduduki oleh anggota TNI aktif yakni hanya merupakan bidang yang berhubungan dengan kemanan dan pertahanan nasional.

Sudah sepatutnya, TNI lebih konsentrasi untuk membenahi diri dan menyiapkan kembali segala yang diperlukan untuk mempertahankan negara ini dari segala ancaman dari luar, dan tidak lagi mengharapkan untuk berkecimpung di dalam kementerian dan lembaga non militer yang merupakan wilayah sipil dan harus dipahami dalam negara demokrasi sebagai wujud dari kedaulatan dengan supremasi sipil adalah harus adanya perwakilan yang dipilih melalui proses pemilihan umum yang demokratis dan ada akuntabilitas politiknya serta harus ada pula aturan hukum yang wajib dijunjung tinggi dan harus sesuai dengan UUD 1945.

Penulis : NAUPAL AL RASYID, SH., MH (Direktur LBH FRAKSI ’98)

Editor : Bung Ewox

Follow WhatsApp Channel rakyatbekasi.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Era Post-Truth: Mengungkap Fenomena Narasi Viral di Tengah Banjir Kota Bekasi
Mekanisme ‘Citizen Law Suit’ Terhadap Dugaan Pengoplosan BBM Pertamax
Bagaimana Kedudukan Aturan Retreat atau Orientasi Khusus untuk Kepala Daerah? Simak Penjelasannya
Majelis Hakim Berwenang Menyatakan Sidang Terbuka atau Tertutup dengan Pertimbangan Perlindungan Harkat dan Martabat Kemanusiaan
KNPI Visioner: Bersama Pemuda Mewujudkan Bekasi Keren
Menggali Konsep Diri Menurut Hurlock: Hubungan Antara Diri dan Lingkungan Sosial
Tantangan Sosiologi dalam Menyikapi Perubahan Perilaku Masyarakat di Era Digitalisasi
Feminisme di Era Digital, Kemenangan atau Tantangan Baru?

Berita Terkait

Kamis, 6 Maret 2025 - 05:19 WIB

Era Post-Truth: Mengungkap Fenomena Narasi Viral di Tengah Banjir Kota Bekasi

Senin, 3 Maret 2025 - 07:18 WIB

Mekanisme ‘Citizen Law Suit’ Terhadap Dugaan Pengoplosan BBM Pertamax

Minggu, 23 Februari 2025 - 22:59 WIB

Bagaimana Kedudukan Aturan Retreat atau Orientasi Khusus untuk Kepala Daerah? Simak Penjelasannya

Sabtu, 8 Februari 2025 - 14:41 WIB

Majelis Hakim Berwenang Menyatakan Sidang Terbuka atau Tertutup dengan Pertimbangan Perlindungan Harkat dan Martabat Kemanusiaan

Sabtu, 11 Januari 2025 - 14:42 WIB

KNPI Visioner: Bersama Pemuda Mewujudkan Bekasi Keren

Berita Terbaru

Foto: infografis/Jangan Sampai Kelewatan, ini lini masa Propses pencairan THR ASN/Aristya rahadian

Nasional

Maaf! Golongan PNS, TNI dan Polri Ini Tak Dapat THR 2025

Senin, 17 Mar 2025 - 08:50 WIB

error: Content is protected !!