Oleh: Yusuf Blegur
Beberapa tahun terakhir ini sering muncul sentimen keagamaan dan kesukuan dalam interaksi sosial politik dan sosial ekonomi masyarakat baik secara horisontal maupun vertikal. Terutama soal peran umat Islam yang termarginalkan dan pengaruh serta dominasi warga China dalam penyelenggaraan pemerintahan dan sektor strategis kepentingan publik. Situasi itu juga terus mengkristal hingga perayaan peringatan hari proklamasi kemerdekaan RI ke-76 yang diselimuti pandemi dan tensi tinggi hutang Luar negeri.
Uniknya, saat tepat suasana perayaan hari kemerdekaan, ada peristiwa yang menyita perhatian masyarakat dengan beredarnya foto dan rekaman video pelarangan pemasangan bendera Merah Putih di satu wilayah. Tidak diijinkannya oleh aparat keamanan terkait terhadap pembentangan bendera merah putih pada jembatan di kawasan perumahan dan bisnis Pantai Indah Kapuk (PIK 2) yang notabene dihuni oleh mayoritas warga China itu. Disebabkan oleh upaya aparat keamanan menghindari kerumunan dan tontonan warga di kawasan itu, karena pemasangan bendera merah putih yang masih dalam suasana pandemi. Seketika informasi itu berkembang luas dan menimbulkan kabar simpang siur dan berbagai intepretasi di kalangan masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sepertinya, pemerintah harus lebih hati-hati dan waspada terhadap isu dan mungkin menjadi fakta bahwasanya sentimen suku dan keagamaan itu menganga lebar dan siap menerkam realitas sosial rakyat Indonesia. Peristiwa pelarangan pemasangan bendera merah putih saat perayaan peringatan proklamasi kemerdekaan RI di kawasan perluasan dan pengembangan reklamasi pantai yang dihuni mayoritas warga China. Apapun alasannya, bisa jadi menyeruak stigma “negara di dalam negara”. Mungkin itu buah yang siap matang dari kejumudan rakyat terhadap superioritas etnis China di nusantara.
Perjanjian pinjaman hutang untuk pembangunan infrastruktur dll. dari China kepada indonesia begitu mengikat. Tidak sekedar hubungan bilateral, namun telah mengikat keduanya dalam hukum internasional. Kesepakatan-kesepakatan perjanjian hutang itu, bukan hanya melemahkan posisi Indonesia. Melainkan membuat Indonesia tidak bisa menolak semua intervensi dan aneksasi yang berbalut investasi.
Pemerintah Indonesia yang dinahkodai Jokowi bersama supervisi Luhut Binsar Panjaitan (LBP) seorang bawahan presiden yang begitu berkuasa semakin lepas kendali. Keduanya seperti dwi tunggal yang tidak biasa. Karena selama ini yang sejarah mengungkap, dwi tunggal yang pernah ada antara Sukarno-Hatta, pasangan presiden dan wakil presiden. Dwi tunggal yang tak biasa ini terkesan melepaskan kedaulatan dalam bidang politik, menghancurkan kedaulatan ekonomi dan merusak kepribadian dalam berkebudayaan (trisakti). Situasi dan kondisi pemerintahan yang gagap dan sering mengalami kebuntuan ini, membawa Indonesia diambang melepaskan kemerdekaan sebagai sebuah negara bangsa dan perlahan memasuki suasana penjajahan gaya baru.
Program hutang negara atas nama investasi tersebut bukan hanya sekedar diinisiasi oleh eksekutif, namun juga dilegitimasi oleh DPR RI serta pembungkaman kekuatan kritis dan elemen perubahan lainnya. Mirisnya, manifestasi hutang luar negeri itu, sarat proyek rente dan rawan korupsi.
Rakyat menanggung multi efek, dibebani pembayaran hutang dan bunga sekaligus kehilangan sejumlah uang yang tidak sedikit dari tidak transparan dan akuntabel pinjaman negara yang menjadi beban rakyat. Sementara, kekuatan fundamental rakyat terbelah. Sebagian mengambil peran kritis dan perlawanan meski dibayangi tindakan represi rezim. Sementara sebagian lainnya menjadi penghianat bangsa, tidak peduli dan tak merasa berdosa menjual negaranya.
Hutang luar negeri yang serampangan itu tanpa analisis dan perencanaan yang akurat, tanpa skala prioritas peruntukannya dan dikelola secara ugal-ugalan. Hutang negara itu memiliki konsekuensi yang menempatkan negara pada posisi sangat lemah tak berdaya dan cenderung ekuivalen dengan penjualan negara beserta kekayaan sumber daya alamnya.
Bukan hanya beresiko mengancam kedaulatan negara. Pemerintah yang membabi-buta mengeksploitasi pinjaman luar negeri, beresiko membawa situasi bangsa Indonesia seperti tanpa pemerintahan dan menuju negara gagal. Selain membunuh demokrasi, keselamatan rakyat juga menjadi pertaruhan. Perilaku pejabat dan pemimpin yang tidak mewujudkan NKRI dan PancaSila sebagai sebuah sistem.
Hanya memunculkan behavior elit politik sebagai penikmat kekuasaan dengan pola-pola yang lebih mengedepankan kepentingan negara lain dan korporate internasional, selain berujung pada kepentingan oligarki. Keadaan itu berdampak pada terpinggirkannya rakyat dalam pelbagai sendi kehidupan. Distorsi penyelenggaran pemerintahan dalam tata kelola negara. Telah memicu ketidakpuasan dan gugatan. Pada akhirnya, seiring waktu kesadaran kritis rakyat terakumulasi dan menjadi gerakan perlawanan.
Rakyat yang sejatinya pemilik kedaulatan, selama ini masih dan terus bersabar. Perilaku kekuasan yang membajak negara dan selalu mengatasnamakan rakyat. Perlahan namun pasti menunjukan watak aslinya. Selain korup, sesungguhnya aparatur negara yang berlindung dalam kekuasaan negara, telah menjelma menjadi tiran yang menindas. Dengan berbagai dalih konstitusi dan konsep pembangunan yang manipulatif.
76 tahun dalam payung NKRI dan naungan Panca Sila. Rakyat Indonesia seperti tak pernah merayakan kemerdekaan yang sesungguhnya. Pencapaian pembangun berbasis sumber daya manusia dan sumber daya alam selama ini, masih jauh dari mimpi negara kesejahteraan. Kebijakan pemerintah hanya melahirkan rakyat dengan kelas-kelas sosial yang diskrimanatif dan segelintir penikmat kekuasaan. Perayaan hari kemerdekaan cukup dengan pengibaran bendera Merah Putih dan tradisi aneka lomba permainan dan hiburan bagi rakyat. Tanpa rasa memiliki, tanpa makna, dan tanpa efek yang beda dari masa sebelum merdeka. Rakyat Indonesia tak ubahnya merayakan kemerdekaan dengan rasa terjajah.
Akankah setelah reformasi gagal menjalankan tugasnya, negeri ini melahirkan revolusi?.
Wallahua’lam bishawab.
*Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.