Demoralisasi Oknum Penegak Hukum Dalam Memutus Perkara

- Jurnalis

Senin, 14 April 2025 - 10:20 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Direktur LBH FRAKSI ’98 Naupal Al Rasyid, SH., MH (istimewa)

Direktur LBH FRAKSI ’98 Naupal Al Rasyid, SH., MH (istimewa)

Oleh: NAUPAL AL RASYID, SH., MH (Direktur LBH FRAKSI ’98)

Masalah demoralisasi atau prilaku tidak bermoral di kalangan oknum penegak hukum kembali menjadi berita utama dalam minggu ini. Adapun yang menjadi topik diskursus mengenai permasalahan ini adalah peristiwa yang menimpa Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Panitera Muda Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan dua orang Advokat dalam dugaan memberikan suap dan/atau gratifikasi.

Kejaksaan Agung menahan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta (MAN) dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait putusan lepas (ontslag) perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak kelapa sawit mentah yang melibatkan tiga grup korporasi besar PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Selain Arif, Kejaksaan Agung juga menetapkan WG selaku Panitia Muda Perdata Pengadilan Negeri Jakarta Utara, MS dan AR selaku advokat sebagai tersangka.

“Penyidik menemukan fakta dan alat bukti bahwa MS dan AR memberikan suap dan/atau gratifikasi kepada MAN diduga sebanyak Rp 60 miliar,” kata Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, dalam konferensi pers di Jakarta, Sabtu (12/04/2025) malam. (TEMPO.CO 13 April 2025).

Permasalahan utama yang menjadi bahan dikursus tersebut, berkaitan dengan pembahasan pengertian moral dalam akuntabilitas moral hakim pidana dan kualitas tingkah laku hakim, sehingga hakim yang bermoral adalah hakim yang tidak melanggar ketentuan hukum dan kode etik serta pedoman tingkah laku hakim.

Hakim menduduki posisi strategis dalam menciptakan keadilan karena mereka memiliki kewenangan untuk mengadili perkara, menegakkan hukum, dan menjatuhkan putusan yang mencerminkan keadilan berdasarkan undang-undang dan nilai-nilai moral.

Tugas hakim adalah memastikan keadilan bagi semua pihak, memberikan kepastian hukum, dan menjamin kemanfaatan putusan.

Posisi strategis hakim juga ditegaskan oleh Muladi (2002), bahwa lingkup kekuasaan kehakiman bukan hanya meliputi otoritas hukum, tetapi juga kewajiban hukum yang merupakan kekuasaan yang melekat pada hakim dan pengadilan untuk melaksanakan fungsi memeriksa, mengadili, dan memutus.

Pertanggungjawaban tersebut secara luas mencakup 3 hal, yaitu:

  • tanggung jawab administratif (manajemen perkara);
  • tanggung jawab prosedural (manajemen peradilan atas dasar hukum acara yang berlaku); dan
  • tanggungjawab substantif (berkaitan dengan pengaitan antara fakta dengan hukum yang berlaku).

Jadi jelas bahwa, jika moralitas hakim luhur, maka putusan yang dihasilkan akan cenderung berkualitas dan berlandaskan keadilan karena moral menentukan tingkah laku hakim.

Putusan yang berkualitas merupakan pencerminan pertanggungjawaban hakim baik secara vertikal kepada sesama manusia maupun secara horizontal, yaitu kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Kasus ini, bermula dari pemberian putusan ontslag atau lepas dalam perkara dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak kelapa sawit mentah yang melibatkan PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group.

Dalam laman resmi Direktori Putusan Mahkamah Agung (MA), sidang putusan ontslag kasus tersebut digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada PN Jakarta Pusat, Rabu, 19 Maret 2025.

Putusan dijatuhkan oleh Hakim Ketua Djuyamto bersama dengan hakim anggota Ali Muhtarom dan Agam Syarief Baharudin. Kejaksaan Agung mengklaim menemukan bukti Muhammad Arif Nuryanta menerima suap sebesar Rp 60 miliar dari pengacara agar tiga terdakwa korporasi kasus tersebut bisa divonis lepas di pengadilan tindak pidana korupsi pada PN Jakarta Pusat.

Pada saat kasus korupsi minyak goreng ini disidangkan, Arif menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat. Majelis Hakim menyatakan perusahaan PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group terbukti melakukan perbuatan sesuai dakwaan primer maupun subsider jaksa penuntut umum (JPU).

Kendati demikian, Majelis Hakim menyatakan perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana (ontslag van alle recht vervolging), sehingga para terdakwa dilepaskan dari tuntutan JPU.

Majelis Hakim juga memerintahkan pemulihan hak, kedudukan, kemampuan, harkat, serta martabat para terdakwa seperti semula.

Atas putusan tersebut, Kejagung pun mengajukan kasasi. Walaupun secara unsur memenuhi pasal yang didakwakan, kata Qohar, tetapi menurut pertimbangan majelis hakim dalam putusan tersebut, kasus itu bukan merupakan tindak pidana. (TEMPO.CO 13 April 2025).

Realitas penegakan hukum yang demikian sudah pasti akan menciderai hati rakyat kecil yang akan berujung pada ketidakpercayaan masyarakat, khususnya pada aparat penegak hukum itu sendiri.

Aparat penegak hukum rentan akan praktik suap dan/atau gratifikasi, membuat hukum di negeri ini nyatanya dapat diperjualbelikan, ini merupakan bukti nyata bahwa ada sebagian oknum hakim dan penegak hukum yang tidak bermoral.

Bagaimana mungkin oknum hakim tidak bermoral dapat menciptakan putusan yang berkualitas kalau moralitas yang buruk.

Moralitas yang dipertanyakan terlihat jelas dalam perilaku (terlihat) dan tidak jujur serta tidak penting dalam pikiran bawah sadar dalam pembuktian, pertimbangan dan putusan hakim.

Menurut Franz Magnis-Suseno (1987), term moral selalu merujuk pada baik-buruknya manusia sebagai manusia.

Jadi bukan mengenai baik buruknya begitu saja, misalnya sebagai hakim, jaksa, advokat, melainkan sebagai manusia.

Norma-norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas.

Norma moral menjadi ukuran yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang.

Apa yang dilakukan oleh oknum hakim selama ini dapat mengindikasikan bahwa banyak putusan hakim yang tidak memenuhi kriteria akuntabilitas moral atau demoralisasi karena dihasilkan oleh hakim yan kurang kredibel.

Reaksi atas peristiwa ini, menjadi pemicu diskursus di masyarakat banyak mengemukakan keluhan tentang kualitas keadilan yang diputuskan oleh oknum hakim.

Banyak pihak yang menuduh bahwa integritas hakimlah yang mejadi penyebab belum bermutu dan berkeadilan putusan hakim. Karena itu, Ketua MA menekankan urgensi peningkatan kualitas putusan.

Karena menurutrnya kualitas putusan selalu memberikan andil yang signifikan dalam membangun citra pengadilan. Karena itu, para hakim diminta selalu meningkatkan kualitas putusan.

(kepaniteraan. mahkamahagung.go.id, tanggal 25 Agustus 2012). Selaras dengan pemikiran tersebut, badan peradilan memerlukan hakim yang benar-benar bersih, transparan dan mempunyai intelektualitas yang progresif, bukan yang berpikiran konservatif dan demoraliasi.

Pedoman moral tersebut dapat mengendalikan tingkah laku hakim. Hal ini dapat dipahami karena elemen utama agar pikiran hakim dapat terkendali adalah menerapkan etika atau moral, karena moral dapat mengarahkan pola pikir dan pola tindak hakim.

Dengan demikian, agar putusan yang dibuat oleh hakim dapat dipertanggungjawabkan secara moral, maka hakim wajib memahami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat.

Berkaitan dengan pernyatan ini Benjamin Cardozo mengemukakan bahwa, dapat dipahami bahwa jika moralitas hakim luhur, maka putusan yang dihasilkan akan cenderung berkualitas dan berlandaskan keadilan karena moral menentukan tingkah laku hakim.

Putusan yang berkualitas merupakan pencerminan pertanggungjawaban hakim baik secara vertikal kepada sesama manusia maupun secara horizontal, yaitu kepada Tuhan Yang Maha Esa (Dan & Perkara, 2011).

Selanjutnya, untuk mendukung pembuatan putusan yang berkualitas, Pasal 50 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman mewajibkan putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

Melalui pertimbangan alasan dan dasar putusan tersebut, masyarakat dan pencari keadilan dapat memamahami jalan pikiran hakim.

Jadi dapat dipahami dalam diskursus di masyarakat, jika hakim mempunyai integritas moral yang tinggi yang secara normatif mempunyai akuntabilitas moral yang tinggi pula.

Integritas moral yang tinggi akan melahirkan tingkah laku dengan norma moral menjadi ukuran yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang.

Hal ini, sejalan dengan moralitas hakim yang luhur dalam putusan yang dihasilkan akan cenderung berkualitas dan berlandaskan keadilan karena moral menentukan tingkah laku hakim dalam memuat alasan dan dasar putusan untuk penerapan pasal-pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

Jika dilihat dari akuntabilitas moral hakim pidana, maka pada hakikatnya tujuan penegakan hukum oleh penegak hukum yang bermoral adalah untuk mewujudkan apa yang hendak dicapai oleh hukum dengan esensi dari tujuan hukum itu sendiri adalah terletak pada keadilan.

Penulis : NAUPAL AL RASYID, SH., MH (Direktur LBH FRAKSI ’98)

Editor : Bung Ewox

Follow WhatsApp Channel rakyatbekasi.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Keyakinan dan Teosentris: Harmoni Pemikiran Ilmiah dan Spiritualitas dalam Tradisi Islam
Pecah Kongsi Kepala Daerah Gegara Mutasi dan Rotasi
Refleksi 17 tahun Bawaslu: Pengawasan yang Efektif dan Peningkatan Partisipasi Pemilih
RUU KUHAP dan Nilai-nilai Profesionalisme Advokat
RUU TNI dan Penghormatan Terhadap Demokrasi
Era Post-Truth: Mengungkap Fenomena Narasi Viral di Tengah Banjir Kota Bekasi
Mekanisme ‘Citizen Law Suit’ Terhadap Dugaan Pengoplosan BBM Pertamax
Bagaimana Kedudukan Aturan Retreat atau Orientasi Khusus untuk Kepala Daerah? Simak Penjelasannya

Berita Terkait

Senin, 14 April 2025 - 20:35 WIB

Keyakinan dan Teosentris: Harmoni Pemikiran Ilmiah dan Spiritualitas dalam Tradisi Islam

Senin, 14 April 2025 - 10:20 WIB

Demoralisasi Oknum Penegak Hukum Dalam Memutus Perkara

Minggu, 13 April 2025 - 17:01 WIB

Pecah Kongsi Kepala Daerah Gegara Mutasi dan Rotasi

Kamis, 10 April 2025 - 11:26 WIB

Refleksi 17 tahun Bawaslu: Pengawasan yang Efektif dan Peningkatan Partisipasi Pemilih

Sabtu, 22 Maret 2025 - 23:19 WIB

RUU KUHAP dan Nilai-nilai Profesionalisme Advokat

Berita Terbaru

error: Content is protected !!