JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan banding atas putusan pengadilan terhadap Wali Kota Bekasi nonaktif, Rahmat Effendi karena tidak diwajibkan membayar uang pengganti Rp 17 miliar.
Sebagaimana diketahui, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Bandung hanya menjatuhkan vonis 10 tahun penjara kepada Rahmat Effendi, denda Rp 1 miliar, dan pencabutan hak politik.
“Terkait tidak dikabulkannya uang pengganti sebesar Rp 17 miliar,” kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam pesan tertulisnya kepada wartawan, Rabu (09/11/2022).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ali mengatakan, Jaksa KPK Siswhandono telah menyerahkan memori banding atas putusan Rahmat Effendi melalui Kepaniteraan Khusus Pengadilan Tipikor Bandung pada Senin (07/11/2022) lalu.
Selain persoalan uang pengganti yang tidak dikabulkan, dalam memori bandingnya Jaksa KPK juga mempersoalkan pembuktian penerimaan gratifikasi Rahmat Effendi.
Menurut Ali, Jaksa KPK yakin Rahmat Effendi berperan meminta uang kepada sejumlah instansi dan perusahaan.
Perbuatan itu dilakukan secara langsung dan menggunakan kedudukannya sebagai Wali Kota Bekasi. Hal ini sebagaimana terungkap dalam fakta persidangan.
“Sehingga instansi dan perusahaan yang diminta bersedia memberikan sejumlah uang,” kata Ali.
Jaksa KPK menilai, sejumlah pihak memberikan uang dengan pertimbangan karena yang meminta adalah Rahmat Effendi.
Adapun panitia pembangunan Masjid Aryasakha, menurut KPK hanyalah kepanjangan tangan dari Rahmat dalam melakukan korupsi.
“Peran panitia hanya sebagai kepanjangan tangan untuk menerima uang,” ujar Ali.
Sebelumnya, Pengadilan Tipikor Bandung menyatakan Rahmat Effendi terbukti melakukan bersalah melakukan tindak pidana suap terkait pengadan barang dan jasa serta lelang jabatan di lingkungan Pemkab Bekasi.
Rahmat kemudian dihukum 10 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan hak politiknya dicabut selama lima tahun.
Dalam tuntutannya, Jaksa KPK meminta hakim menjatuhkan hukuman 9,5 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Jaksa juga menuntut Rahmat membayar uang pengganti Rp 8 miliar lebih.
Adapun dalam dakwaannya, Jaksa menyebut Rahmat Effendi menerima suap Rp 10 miliar dari persekongkolan pengadaan lahan di Kelurahan Sepanjang Jaya.
Ia juga disebut menerima uang Rp 7,1 miliar dari sejumlah aparatur sipil negara (ASN) maupun pejabat di lingkungan Pemkab Bekasi. Suap diberikan terkait lelang jabatan.