Pengunduran Diri ASN dan Netralitasnya di Pilkada Serentak 2024

- Jurnalis

Senin, 20 Mei 2024 - 00:30 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Direktur LBH FRAKSI ’98 Naupal Al Rasyid, SH., MH (istimewa)

Direktur LBH FRAKSI ’98 Naupal Al Rasyid, SH., MH (istimewa)

Oleh: Naupal Al Rasyid, SH., MH (Direktur LBH FRAKSI ’98)

Ketentuan mengenai pemilihan kepala daerah (Pilkada) digelar serentak di 2024 diatur melalui Pasal 201 Ayat (8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada) yang menyebutkan bahwa pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota di seluruh wilayah Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.

Adapun saat ini, tahapan penyelenggaraan Pilkada 2024 berdasarkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2024 adalah tahapan pemenuhan persyaratan dukungan pasangan calon perseorangan dilakukan pada 5 Mei 2024 hingga 19 Agustus 2024.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Baca Juga:  Jelang Pilkada Kota Bekasi, Ini Atensi Sekda Junaedi kepada ASN 'Petakhilan'

Sedangkan pendaftaran pasangan calon baik perseorangan maupun pasangan calon yang diusung partai politik atau gabungan partai politik dilakukan pada 27 hingga 29 Agustus 2024.

Akan tetapi, dengan dimulai tahapan penyelenggaraan Pilkada 2024 bila seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan sebagai unsur aparatur negara dan aparatur pemerintah yang ingin mencalonkan dalam kontestasi politik Pilkada atas hak untuk dipilih harus mengundurkan diri terlebih dahulu.

Pengunduran diri ASN di dalam Pasal 7 UU Pilkada telah disebutkan secara jelas, bahwa apabila terdapat seorang ASN ingin mendaftarkan diri sebagai bakal calon kepala daerah, maka seorang tersebut harus terlebih dahulu mengundurkan diri sebagai ASN sejak mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah.

Kualifikasi batasan pengunduran diri terhadap ASN sebagai calon kepala daerah ditegaskan John S Mill (Eko Prasojo, 2014), bahwa suatu perbuatan (penikmatan hak) tidak menimbulkan kerugian pada orang lain, maka tidak ada legitimasi bagi negara untuk merepresi suatu suatu penikmatan hak.

Sebaliknya, jika memang penikmatan hak akan menganggu orang lain, maka pembatasan terhadapnya dimungkinkan terjadi.

Baca Juga:  Pj Wali Kota Bekasi Gelar Karpet Merah untuk Uu dan Kusnanto Mengundurkan Diri dan Maju Pilkada 2024

Pembatasan tak semata-mata memiliki justifikasi dengan sekedar adanya hukum positif saja tetapi pembatasan dimaksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang layak terhadap hak-hak dan kebebasan orang lain atau sebagai pembatasan HAM.

Pembatasan ASN dalam kedudukan sebagai administrasi sentral dalam kebijakan dan pemengang kekuasaan serta kewenangan dalam pengelolaan anggaran sumber daya di dalam birokrasi.

Agar kewenangan tersebut tidak salah gunakan dan dapat menguntungkan dirinya sendiri sebagai bakal calon kepala daerah, sehingga sebagai konsenkuensinya ASN harus bersikap netral.

Netralitas ASN telah diatur dalam Pasal 2 huruf f UU ASN, pengaturan terhadap netralitas dimaksud untuk memperoleh kepastian, kegunaan dan keadilan hukum guna membatasi kekuasaan dari kemungkinan praktek kekuasaan atas subjektifitas yang pada akhirnya mengarah kepada penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Baca Juga:  Kadisdik Sibuk "Nyalon" Wali Kota, Pj Gani Instruksikan Stakeholder Sosialisasikan PPDB 2024

Penyalahgunaan kekuasaan menurut data Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN, 2017), yang sering terjadi dalam lingkup pemilihan kepala daerah atau pemilihan umum, yaitu di lingkungan kerja secara sengaja membuat kegiatan yang bersumber dari anggaran negara atau daerah untuk kepentingan bakal calon kepala daerah, seperti sosialisasi dan pembagian sembako dalam rangka menarik simpati pemilih yang menguntungannya.

Selain itu, terdapat hal-hal yang memanfaatkan program dan anggaran daerah untuk digunakan sebagai sarana instrumen kampanye.

Untuk hal tersebut, pengaturan mengenai netralitas ASN merujuk pada 6 (enam) peraturan yang mengatur mulai dari UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang ASN sampai dengan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan PP Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi UU serta UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu beserta peraturan turunannya.

Dari pengaturan mengenai netralitas ASN, dapat dipahami persoalan netralitas ASN merupakan satu kesatuan dalam upaya mewujudkan Pilkada yang demokratis sebagai syarat utama dalam pemilihan kepala daerah dan sesuai pasal 18 UUD 1945 dimana Pilkada dilaksanakan berdasarkan demokrasi dicalonkan oleh rakyat dipilih oleh rakyat dan mengabdi kepada rakyat.

Baca Juga:  Bakal Calon Wali Kota Bekasi Kusnanto Saidi Dua Tahun Tak Lapor LHKPN?

Selain aturan pengunduran diri sebagai ASN sejak mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah, maka dari hal tersebut dalam UU Pilkada juga mengarur mengenai larangan bagi untuk melibatkan jajaran ASN dalam kegiatan Pilkada.

Karena itu, Pasal 170 ayat (1) huruf b UU Pilkada dinyatakan bahwa pasangan calon kepala daerah dilarang melibatkan ASN, anggota Polri dan anggota TNI dalam kegiatan kampanye, serta Pasal 70 ayat (3) mewajibkan bagi incumbent untuk cuti selama masa kampanye, ketentuan tersebut diatur bertujuan salah satunya untuk menjaga netralitas ASN.

Adapun, dalam ketentuan Pasal 71 ayat (1) dinyatakan pejabat negara, pejabat daerah, pejabat ASN, anggota TNI/Polri, kepala desa dilarang membuat Keputusan dan/atau Tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon, ketentuan tersebut juga berkaitan dengan netralitas ASN.

Baca Juga:  Tekad Bulat Kadisdik Kota Bekasi Maju Pilkada, Ambil Formulir Jelang PPDB 2024

Apabila memahami berbagai peraturan dan hubungan kelembagaan yang muncul dalam rangka menjaga netralitas ASN, ternyata peraturan perundang-undangan tidak sekedar mengatur terkait ASN itu sendiri.

Akan tetapi juga subjek hukum yang menyebabkan ASN tidak netral, yaitu pejabat struktural ASN sebagai pimpinan sebagaimana diatur Pasal 71 UU Pilkada mengatur 2 (dua) hal penting; Pertama, larangan bagi pejabat negara, pejabat ASN dan kepala desa atau sebutan lain untuk membuat Keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama kampanye. Kedua, larangan bagi petahana untuk melakukan pergantian pejabat serta menggunakan program dan kegiatan pemerintah daerah untuk 6 (enam) bulan sebelum masa jabatannya berakhir yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.

Sama dengan hal tersebut, Gubernur, Bupati dan Walikota terpilih juga dilarang melakukan pergantian pejabat di lingkungan pemerintah provinsi, kabupaten atau kota dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak dilantik. Larangan sebagaimana dimaksud Pasal 71 ayat (1), (2) dan (3) disertai pula dengan sanksi pidana dan administrasi.

Baca Juga:  Mereka Merangsek Ikut Kontestasi di Tengah Seruan Netralitas ASN

Selanjutnya, kaitan dengan aturan pengunduran diri sebagai ASN sejak mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah, dipertegas Mahkamah Konstitusi (MK) dengan mengeluarkan putusan bahwa keharusan mengundurkan diri tidak harus diartikan sebagai pembatasan HAM karena tidak ada HAM yang dikurangi dalam konteks ini, melainkan sebagai konsekuensi yuridis atas pilihan ASN tersebut untuk masuk ke arena pemilihan jabatan politik, sehingga wajib mengundurkan diri dari ASN guna mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang birokrasi pemerintahan.

Sehingga didapatkan sebuah paradigma atau idealisme tentang adanya keharusan untuk memilih posisi tertentu dalam jabatan politik.

Setiap orang berhak untuk memilih dan berpartisipasi dalam bidang pemerintahan tanpa terkecuali sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi.

Terkait syarat pengunduran diri anggota ASN jika hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah, Mahkamah secara tidak langsung telah menyatakan pendapatnya lewat putusannya tentang syarat mengundurkan bagi ASN yang hendak mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah, sebagaimana tertuang dalam Putusan MK Nomor 45/PUU-VIII/2010, bertanggal 1 Mei 2012 yang kemudian dirujuk dalam Putusan Nomor 12/PUU-XI/2013, tertanggal 9 April 2013, selanjutnya dirujuk kembali dalam Putusan MK Nomor 57/PUU-XI/2013, tertanggal 23 Januari 2014, dan terakhir dirujuk pula dalam Putusan Nomor 41/PUUXII/2014, tertanggal 8 Juli 2015.

Berbagai Putusan MK yang memberikan perwujudan keadilan dan kebebasan sebagai dasar persyaratan untuk dapat melaksanakan hak untuk memilih dan dipilih dalam Pilkada.

Dimana warga negara memiliki hak konstitusional untuk memilih dan dipilih sebagaimana telah dijamin di dalam konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional.

Baca Juga:  Koalisi PDI Perjuangan, Gerindra dan PKB untuk Pilkada Kota Bekasi 2024 Selangkah Lagi Terbentuk

Dalam mewujudkan keadilan sebagai fairness, terkait perbedaaan dan pembatasan kebebasan, Jhon Rawls (Andre Ata Ujan, 2001) menekankan bahwa pembatasan memang dapat mengakibatkan ketidaksamaan dalam kebebasan politik, namun ketidaksamaan ini diperbolehkan apabila hal itu penting demi terjaminnya kebebasan dari kelompok yang kurang beruntung.

Oleh karena itu, ASN dengan sebagai unsur aparatur negara dan aparatur pemerintah yang ingin mencalonkan dalam kontestasi politik Pilkada atas hak untuk dipilih harus mengundurkan diri terlebih dahulu dengan pengaturan netralitas ASN dalam Pilkada yang ditinjau dari beberapa peraturan perundang-undangan seperti dari UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang ASN sampai dengan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan PP Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi UU serta UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu beserta peraturan turunannya.

Selain itu, berdasarkan analisis hukum prinsip netralitas ASN dalam berbagai Putusan MK menunjukkan bahwa ASN dalam konteks hak untuk dipilih, maka ASN diperbolehkan untuk maju sebagai salah satu kandidat dalam Pilkada.

Baca Juga:  Diduga Miliki Hubungan Gelap, Titah Rakyat Tuntut Komisioner KPU Kota Bekasi Mundur

Atas dasar itu, urgensi dari beberapa peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan MK yang telah dijelaskan dapat ditarik kesimpulan, bahwa pengunduran diri ASN harus dilakukan bukan sejak mendaftar sebagai calon, melainkan pengunduran diri secara tertulis sebagai ASN sejak ditetapkan sebagai calon peserta dalam pilkada.

Visited 10 times, 1 visit(s) today

Penulis : Naupal Al Rasyid, SH., MH

Editor : Bung Ewox

Follow WhatsApp Channel rakyatbekasi.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Kader Muda Partai Golkar Lahirkan ‘GO-TRI’, Siap Menangkan ‘RIDHO’ di Pilkada 2024
Jelang Penetapan Paslon Pilkada Kota Bekasi, Elektabilitas Tri Adhianto Semakin di Depan
GEMA MKGR Alihkan Dukungan ke Tri Adhianto-Harris Bobihoe, Ternyata Faktanya…
GEMA MKGR Alihkan Dukungan ke Tri Adhianto-Harris Bobihoe, Ini Alasannya
KPU Kota Bekasi Targetkan Partisipasi Pemilih Pilkada 2024 Naik 81 Persen
Jelang Pilkada Kota Bekasi 2024, Bawaslu Rekomendasikan KPU Sediakan TPS Mobile
Gandeng Komnas HAM, Bawaslu Beri Stimulan Panwascam untuk Antisipasi Konflik di Pilkada Kota Bekasi
Paslon Uu Saeful Mikdar – Nurul Sumarheni Segera Deklarasikan Tim Pemenangannya

Berita Terkait

Kamis, 19 September 2024 - 23:43 WIB

Kader Muda Partai Golkar Lahirkan ‘GO-TRI’, Siap Menangkan ‘RIDHO’ di Pilkada 2024

Kamis, 19 September 2024 - 12:53 WIB

GEMA MKGR Alihkan Dukungan ke Tri Adhianto-Harris Bobihoe, Ternyata Faktanya…

Kamis, 19 September 2024 - 08:38 WIB

GEMA MKGR Alihkan Dukungan ke Tri Adhianto-Harris Bobihoe, Ini Alasannya

Rabu, 18 September 2024 - 09:00 WIB

KPU Kota Bekasi Targetkan Partisipasi Pemilih Pilkada 2024 Naik 81 Persen

Selasa, 17 September 2024 - 16:04 WIB

Jelang Pilkada Kota Bekasi 2024, Bawaslu Rekomendasikan KPU Sediakan TPS Mobile

Berita Terbaru

error: Content is protected !!