JAKARTA – Imbas gangguan yang terjadi pada layanan Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) ternyata berdampak pada aplikasi Kemendikbudristek.
Sekitar 47 domain layanan atau aplikasi Kemendikbudristek tidak dapat diakses karena gangguan yang terjadi sejak 20 Juni 2024.
“Terdapat 47 domain layanan/aplikasi Kemendikbudristek di bidang pendidikan dan kebudayaan yang terdampak dan belum dapat diakses publik,” kata Plt Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbudristek Anang Ristanto, Jakarta, Jumat (28/06/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Anang menambahkan, layanan yang tidak dapat diakses antara lain Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE), Beasiswa Pendidikan, KIP Kuliah dan layanan perizinan film.
Karena keadaan tersebut, Anang hanya menyampaikan permintaan maaf atas gangguan yang terjadi.
Untuk mengatasi hal tersebut, lanjut Anang, pihaknya terus berkoordinasi dengan Kemenkominfo selaku pengelola PDN untuk menindaklanjuti hal tersebut dan melakukan pemulihan layanan secara bertahap.
Hingga saat ini sudah ada beberapa layanan yang berhasil dipulihkan seperti layanan Itjen, kebugaran pusmendik, dan layanan DNS Pusdatin Kemendikbudristek.
“Sambil terus menantikan proses pemulihan ini diselesaikan, masyarakat dapat mengajukan usulan layanan melalui unit layanan terpadu Kemendikbudristek ult.kemdikbud.go.id,”paparnya.
Serangan Ransomware
PDN lumpuh karena diserang peretas. Peretasan terjadi sejak 20 Juni. Pusat data yang berlokasi di Surabaya itu diserang dengan modus ransomware.
Pemerintah belum bisa sepenuhnya memulihkan PDN. Peretas pun meminta tebusan hingga Rp131 miliar.
Insiden serangan siber yang menimpa Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2 memantik kritik dari berbagai kalangan, termasuk pakar IT Heru Sutadi, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute.
Menurutnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) harus bersikap terbuka mengenai insiden ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Heru menekankan bahwa transparansi adalah kunci dalam pengelolaan insiden siber, terutama yang berpotensi besar mempengaruhi layanan publik dan keamanan data nasional.
“Jangan sampai ada kesan, UU itu hanya berlaku untuk lembaga, perusahaan dan orang lain, sementara Kominfo terkesan bebas dari kewajiban tersebut,” tutur Heru dikutip dari inilah.com.