Oleh: Yusuf Blegur
Tanpa disadari aparatur negara. Rusaknya sistem dan tata kelola pemerintahan. Pada akhirnya akan menurunkan moral dan ikut menghancurkan tatanan sosial masyarakat. Keluarga yang menjadi penopang dan paling fundamental sebagai lembaga ketahanan sosial, seiring waktu akan tergerus. Keluarga yang rapuh secara ekonomi dan politik pada akhirnya akan menyempurnakan lahirnya negara gagal.
Suatu hari di tengah kehangatan mentari pagi yang menyeruak. Terjadi interaksi yang menarik dalam suatu keluarga. Ditengah berkumpulnya keluarga dalam suasana pandemi dan pelaksanaan PPKM darurat. Ada situasi dimana seorang ayah, ibu dan anaknya bercengkerama di sela-sela aktifas dalam rumah yang semua kegiatan dilakoni bersama dalam satu atap. Seperti kebanyakan dalam lingkungan masyarakat yang hampir di seantero Indonesia, ruang geraknya tersekat wabah. Kebetulan salah satu anaknya yang masih berjibaku di level pendidikan SMP, sebut saja si Buhut, sedang menyimak pembelajaran online.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Si Buhut yang kadang asyik memelototi androidnya namun di lain waktu terasa jenuh dan ogah-ogahan mengikuti pembelajaran tanpa sentuhan fisik dan emosi itu. Tiba-tiba si Buhut bertanya pada ayahnya yang sibuk ngetik merespon wa dari beberapa grup dan japri kawannya di hp. “Ayah, apa yang harus dilakukan untuk mewujudkan nilai-nilai Panca Sila dalam bidang politik”, ujar si Buhut yang meneruskan pertanyaan gurunya yang terlontar dari jarak jauh. Kelas si Buhut sepertinya sedang belajar Pendidikan Kewarganegaraan (PKN).
Tanpa menunggu waktu lama, dengan sigap si ayah menjawab, ” warga negara dapat hidup berdemokrasi dan berani dalam menentukan sikap politik, misalnya saat negara kacau, rakyat harus menuntut presiden mundur”. Dengan tegas dan berapi-api, spontan ayahnya yang berasal dari Indonesia bagian timur itu menjawab pertanyaan anaknya. Seketika sang ibu yang sedang wara-wiri di dekatnya dan sibuk bebenah rumah, langsung merespon si ayah. “Ya Mbo jangan gitu jawabnya ayah”. “Apa ngga ada contoh lain?”. “Itu kan politik banget dan bukan contoh yang mendidik”. Kilah ibunya si Buhut yang tuturnya halus khas Jawa.
Ayah Buhut yang sehari-hari kerja serabutan sambil sesekali berdagang keliling, langsung menimpali istrinya itu. “Lho memangnya kenapa, itu memang politik”. “Untuk mewujudkan nilai Panca Sila di segala bidang yang bukan hanya politik, perlu langkah-langkah dan kebijakan politik di semua bidang”. “Kalau soal presiden dituntut mundur, itu hanya contoh”.
Lagipula memang faktanya presiden gagal kok, ngga bisa menangani pandemi yang berkepanjangan, ekonomi morat-marit dan rakyat makin malangkara, semakin nyungsep”. “Belum lagi tuh presiden ame gerombolannye kentara banget benci dan memusuhi umat Islam dan para ulama”. Kata ayahnya Buhut yang biasa dipanggil tetangganya Pak Rogowi , menyeru ke anaknya seperti sedang berorasi dengan intonasi yang tidak terlalu meledak-ledak.
Si Ibu terdiam seribu bahasa. Entah karena karakter Jawa Solonya yang lembut, atau mungkin enggan dan merasa pusing meladeni pidato politik ayahnya si Buhut?. Bu Ega yang sering dipanggil dengan nama anak bontot perempuan adiknya si Buhut yang masih kecil itu. Sepertinya memahami watak keras suaminya yang kadang-kadang muncul bawaan kultur daerahnya.
“Contoh paling sederhana dan gampang ya ini, kita ngga bisa ngapa-ngapain, di rumah aja”. “Mo usaha ngga bisa, kalo kuwar ribet urusannye ame petugas pendemi”. “Terus-terusan di rumah, ngga kerja ato kaga bisa usaha kite mo makan ape?”. Tambah Pak Rogowi asli NTT yang lama dan di Jakarta dan kental bahasa betawinye. Suasana menjadi hening sebentar. Ayah si Buhut berhenti bicara dan melanjutkan chating di android jadulnya.
Kesunyian pecah, saat si Buhut menyampaikan sesuatu. “Berarti politik itu berani melakukan kritik ya ayah?”. “Kita jangan diem aje kalo ada yang salah”. Lirih si Buhut sambil melanjutkan aktifitas sekolahnya dengan alat komunikasi genggamnya sehari-hari.
“Kira-kira begitu nak, bilang sekalian sama gurunya, boro-boro kita mewujudkan nilai-nilai Panca Sila dalam bidang Politik”. “Wong Kite ini dan banyak rakyat ude jadi korban politik”. Pungkas ayahnya Buhut menyudahi obrolan pagi keluarga, sambil berjalan ke Bu Ega istrinya dan menanyakan “ada makanan apa Bu, buat sarapan?”. Mungkin Ayah si Buhut sudah kelaparan lama memainkan hp dan menguras aspirasi politiknya yang tak kesampaian dan tak berujung.
Keluarga Pak Rogowi yang majemuk itu telah menunjukan betapa kemajemukan di negeri ini begitu nyata. Bukan sekedar kemajemukan budaya, bahasa, suku dan agama. Kemajemukan juga ada di antara negara dan rakyat. Antara kelas borjuasi dan kelas marginal. Antara kekuasaan dan yang tertindas. Antara hukum dan ketidakadilan. Antara rezim tirani dan demokrasi serta mimpi-mimpi kesejahteraan rakyatnya.
*Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.