Presiden Jokowi diminta membatalkan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 2 Tahun 2022 tentang UU Cipta Kerja.
Apabila rencana ini terealisasi dan DPR menyetujui maka Jokowi dapat dikategorikan melakukan praktik otoritarianisme.
Apalagi Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya meminta pemerintah bersama DPR memperbaiki UU Cipta Kerja bukan menerbitkan perppu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketua YLBHI, M Isnur menyebutkan, sikap Jokowi melabrak putusan MK No 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan UU Cipta Kerja inkostitusional bersyarat dengan menerbitkan perppu.
MK dalam putusan yang dibacakan 25 November 2021 memerintahkan pembentuk undang-undang memperbaiki syarat formil selama dua tahun sejak putusan dibacakan agar tidak dinyatakan inkonstitusional permanen.
Artinya langkah menerbitkan perppu bukan hanya cara culas namun mengangkangi konstitusi.
“Penerbitan perppu ini jelas bentuk pembangkangan, pengkhianatan atau kudeta terhadap Konstitusi RI, dan merupakan gejala yang makin menunjukkan otoritarianisme pemerintahan Joko Widodo,” kata Isnur, di Jakarta, Minggu (01/01/2023).
Kepastian pemerintah menerbitkan perppu diketahui dari konferensi pers bersama Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menko Polhukam Mahfud MD dan Wamenkumham Eddward OS Hiariej, yang mengumumkan telah terbit Perppu No 2/2022 pada Jumat (30/12/2022) yang lalu.
Salah satu pertimbangan yang disampaikan yakni adanya kebutuhan mendesak dalam mengantisipasi kondisi global, baik yang terkait ekonomi maupun geopolitik.
Isnur tidak melihat adanya urgensi atau situasi mendesak dalam aspek ekonomi yang memaksa pemerintah menerbitkan perppu.
Sebaliknya, situasi mendesak terkait putusan MK yang menyatakan pemerintah bersama pemerintah dan DPR memperbaiki UU Cipta Kerja selama dua tahun.
“Ini semakin menunjukkan bahwa Presiden tidak menghendaki pembahasan kebijakan yang sangat berdampak pada seluruh kehidupan bangsa dilakukan secara demokratis melalui partisipasi bermakna (meaningful participation) sebagaimana diperintahkan MK,” tuturnya.
Penerbitan perppu, lanjut Isnur, menunjukkan bahwa Jokowi memposisikan diri sebagai penguasa absolut dan menutup celah partisipasi publik.
“Jelas inj bagian dari pengkhianatan konstitusi dan melawan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis,” kecamnya.
Dia menegaskan tidak ada syarat kegentingan yang memaksa pemerintah menerbitkan perppu.
Kegentingan memaksa yang dimaksud yakni adanya kekosongan hukum, dan proses pembuatan tidak bisa dengan proses pembentukan UU seperti biasa.
“Presiden seharusnya mengeluarkan Perppu Pembatalan UU Cipta Kerja sesaat setelah UU Cipta Kerja disahkan, karena penolakan yang massif dari seluruh elemen masyarakat. Tetapi, saat itu Presiden justru meminta masyarakat yang menolak UU Cipta Kerja melakukan judicial review. Saat MK memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional, Jokowi justru mengakalinya dengan menerbitkan perppu,” bebernya.
Isnur melanjutkan, argumentasi pemerintah menerbitkan perppu dengan menyatakan adanya dampak perang Ukraina-Rusia dan ancaman inflasi dan stagflasi mengada-ada.
“Alasan kekosongan hukum juga alasan yang tidak berdasar dan justru menunjukkan inkonsistensi dimana pemerintah selalu mengklaim UU Cipta Kerja masih berlaku walau MK sudah menyatakan inkonstitusional,” ujarnya.
Isnur meyakini penerbitan perppu merupakan praktik konsistensi ugal-ugalan dalam pembuatan kebijakan demi memfasilitasi kehendak investor dan pemodal.
Artinya untuk memfasilitasi kepentingan pengusaha bukan rakyat secara umum.
“Penerbitan di ujung tahun, juga menunjukkan bahwa Presiden tidak menghendaki ada reaksi dan tekanan dari masyarakat dalam bentuk demonstrasi dan lainnya, karena mengetahui warga dan masyarakat sedang dalam liburan akhir tahun,” tutup Isnur.