Sejarah laksana roda. Dia berputar, mengulang-ulang kisahnya.
Dan situasi di tahun 50an hingga 60an itu seperti datang kembali tahun ini. Adalah Jokowi yang menjadi tokoh sentralnya.Pemunculan Jokowi mengubah nasib PDIP di percaturan politik nasional. Pasalnya, sedahsyat apa pun seorang Megawati, ia tetap tidak kuasa melawan keperkasaan Susilo Bambang Yudhoyono.Megawati terpuruk di Pilpres, PDIP juga kehilangan tajinya. Tapi Jokowilah yang menjadi Ratu Adilnya. Kursi RI-1 didudukinya dan PDIP kembali menemukan kejayaannya.Jokowi seketika didaulat sebagai dewa penyelamat. Betapapun demikian, ia tetap rendah hati menerima status sebagai petugas partai. Setidaknya untuk beberapa lama.Jokowi berpikiran jauh ke depan. Sejak jauh-jauh hari ia telah menyusun alur regenerasi kepemimpinan pasca Februari 2024.Ketajaman intuisi politiknya pula yang membuat Jokowi mampu membaca dinamika yang kabarnya tidak begitu sehat di PDIP, partai yang telah ia sehatkan itu.[irp posts=”7599″ ]Dan, walau Jokowi tidak ada hubungan dengan Aidit, namun tabiat politiknya memiliki kemiripan pada satu aspek: menolak membebek. Walau bertitel petugas partai, Jokowi pantang membebek.
Jokowi memang tidak menggunakan diksi sefrontal Aidit. Tapi Jokowi tentu yakin, ia harus melancarkan terjangan terhadap kekuatan-kekuatan yang ia pandang kontra revolusioner, tak terkecuali–dalam konteks pilpres 2024–yang “bergentayangan” di dalam tubuh PDIP. Dan jurus Jokowi itu terlalu hebat untuk dibendung.Jokowi melihat tanda-tanda PDIP salah urus, dan itu berbahaya bagi visinya tentang Indonesia masa depan.Anggaplah, di permukaan, Jokowi melakukan makar terhadap trah Sukarno selaku “pemilik dan pewaris” PDIP. Tak beda dengan pengkhianatan Aidit terhadap Sukarno.Tapi di balik “kejahatan politik” itu, terkandung idealisme dan visi Jokowi secara bersamaan. Bahwa, PDIP harus diluruskan, Indonesia harus diselamatkan.[irp posts=”7253″ ]Katakanlah, Jokowi adalah pelaku kanibalisme politik. Anak durhaka. Kacang lupa kulit. Manuvernya sungguh-sungguh vivere pericoloso (menyerempet-nyerempet bahaya. Bahasa Italia yang lebih umum adalah “vivere pericolosamente”—red).Ia memalingkan kepala dari segala bentuk drama, sinetron (itu keliru ucapannya di HUT Golkar), dan tindak-tanduk baper politik lainnya. Publik bisa membaca itu tertuju kepada siapa.
Kentara sudah. Jokowi menolak patuh. PDIP dibuatnya runtuh, hukum dibikinnya kisruh, peta politik diaduknya hingga keruh.Namun Jokowi seolah mewejangani kita. Bahwa, dalam sebuah revolusi, itu semua tak lebih “een rimpeltje in de oceaan” — riak kecil di tengah ombak samudra.
Habis perkara?
Belum. Masih perlu ditunggu episode pamungkas sendrapolitik Jokowi: berjaya dalam politik riang gembira, atau justru bergemoy sendirian dan menjadi orang paling kesepian? Allahu a’lam. [ ]*Pembelajar psikologi, penikmat sejarahEksplorasi konten lain dari RakyatBekasi.Com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
Penulis : Reza Indragiri Amriel
Halaman : 1 2

























