Demokrasi Pasca-Orde Baru: Antara Harapan dan Kegelisahan
Selama lebih dari dua dekade, Indonesia menjalani perjalanan demokrasi yang penuh gejolak. Sejak runtuhnya rezim Orde Baru pada 1998, bangsa ini mengalami euforia kebebasan politik yang luar biasa.
Namun, di tengah semangat Reformasi, demokrasi kerap disalahartikan sebagai kebebasan tak terbatas—sebuah pasar kuasa di mana pengabdian terancam tergantikan oleh ambisi pribadi dan transaksional.
Era Sentralisasi: Stabilitas di Atas Segalanya
Pada masa Orde Baru (1970–1990), pembangunan nasional berlandaskan pada prinsip stabilitas politik sebagai fondasi kemajuan ekonomi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemerintah membentuk sistem teknokratis yang membatasi partisipasi publik. Partai politik disederhanakan, organisasi kemasyarakatan dikooptasi, dan hanya segelintir elite yang menikmati pertumbuhan ekonomi 7%—sementara ketimpangan sosial terus melebar.
“Trilogi Pembangunan lebih bergaung sebagai slogan, daripada instrumen pemerataan,” tulis Richard Robison dalam telaahnya mengenai kapitalisme Orde Baru.
Reformasi: Meledaknya Partisipasi Rakyat
Lengsernya Soeharto membuka babak baru. Pemilu bebas, media independen, dan kebebasan berekspresi menjadi napas baru bagi demokrasi.
Ratusan partai politik lahir, ruang publik dibanjiri diskusi, dan pemantauan pemilu dilakukan secara lebih terbuka baik oleh lembaga resmi seperti KPU dan Bawaslu maupun oleh komunitas sipil.
Menurut Miriam Budiardjo, “Demokrasi hidup jika rakyat turut serta dalam proses politik.” Partisipasi ini hadir dalam bentuk formal—misalnya pendaftaran pemilih dan pengawasan pemilu—dan juga dalam bentuk informal, seperti edukasi politik lewat komunitas, media sosial, dan diskusi antarwarga.
Namun, partisipasi tertinggi justru terjadi pada Pemilu 1999 (93%) dan menurun di pemilu-pemilu berikutnya.
Fenomena ini mengindikasikan adanya kelelahan politik, atau bahkan kekecewaan terhadap hasil demokrasi yang belum sepenuhnya mengakar ke akar rumput.
Transaksionalisme: Bayang-Bayang Demokrasi Elektoral
Seiring perkembangan sistem elektoral, muncul tantangan baru: politik uang dan transaksionalisme.
Partai politik kerap bertransformasi menjadi “mesin pencari rente,” dan politisi menghitung jabatan secara kalkulatif.
Janji jabatan dan pengaruh menjadi komoditas, menggeser nilai pengabdian yang seharusnya mendasari demokrasi.
Era digital memperluas definisi partisipasi: satu klik, satu komentar, satu like dianggap sebagai bentuk keikutsertaan politik.
Namun dalam praktiknya, mudah tersulut dan sulit berdialog menjadi karakter umum ruang digital, membuat esensi partisipasi sebagai pengawasan kekuasaan perlahan terpinggirkan.
Menjaga Kemurnian Demokrasi
Demokrasi bukan sekadar sistem, tapi ruang etis yang menuntut ketulusan. Generasi muda punya tanggung jawab besar dalam menjaga kemurnian proses politik. Partisipasi harus dilandasi nurani, bukan sekadar kepentingan pribadi.
Menjelang Pemilu 2029, penting bagi seluruh elemen masyarakat untuk menjadi penjaga nilai: berintegritas, tidak tergoda transaksi, dan berkomitmen mengawal demokrasi sebagai ruang pengabdian.
Referensi Pemikiran
Artikel ini merujuk pada beberapa karya penting:
- Miriam Budiardjo (2008, 1982) – Dasar-dasar Ilmu Politik
- Huntington & Nelson (1990) – Political Order in Changing Societies
- Richard Robison (2012) – Indonesia: The Rise of Capital
- Saiful Mujani dkk. – Studi perilaku pemilih dalam era Reformasi
- Perludem (2014) – Laporan pengawasan pemilu
Eksplorasi konten lain dari RakyatBekasi.Com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
Penulis : Sura Bili, S.I.P (staf SDM Bawaslu Kota Bekasi)






























