Harga beras terpantau masih belum stabil turun, meski posisi saat ini sudah melandai. Secara rata-rata nasional bulanan, harga bulan Oktober 2023 masih jauh di atas harga bulan Oktober 2022, bahkan melampau harga tertinggi tahun lalu.
Rata-rata nasional harga eceran beras premium tercatat naik ke Rp14.900 per kg di bulan Oktober 2023, dibandingkan sebulan sebelumnya di Rp14.170 per kg. Harga di bulan Oktober 2022 tercatat masih di Rp12.630 per kg.
Begitu juga harga beras medium, rata-rata nasional eceran bulan Oktober 2023 naik ke Rp13.220 per kg dari sebulan sebelumnya di Rp12.840 per kg. Harga di bulan Oktober 2022 tercatat masih di Rp11.070 per kg.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Harga tersebut mengacu pada Panel Harga Badan Pangan, diakses hari ini, Kamis (12/10/2023) pukul 19.08 WIB.
Secara rata-rata eceran nasional harian, harga beras medium hari ini naik Rp10 ke Rp13.180 per kg, sedangkan beras premium naik Rp70 ke Rp14.960 per kg.
Sepekan lalu, 5 Oktober 2023, harga beras medium tercatat di Rp13.200 per kg, sedangkan beras premium di Rp14.900 per kg.
Artinya, harga beras medium bergerak turun tapi belum stabil, sedangkan harga beras premium masih stabil melanjutkan kenaikan.
Produksi Berlebih
Dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Tahun 2023, Senin (9/10/2023), Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan, jika mengacu data Kementerian Pertanian (Kementan), untuk tahun 2023, beras tersedia di dalam negeri diprediksi mencapai 31,54 juta ton. Sementara konsumsi nasional tahun ini diprediksi sebanyak 30,2 juta ton.
“Artinya kalau dilihat dari data ini, beras tersedia 31,5 juta ton, sementara konsumsi 30 juta ton, harusnya cukup swasembada, tanpa memerlukan impor,” katanya dalam tayangan di akun Youtube Kemendagri.
“Tapi persoalannya adalah kenapa terjadi kelangkaan dan kekurangan sehingga impor untuk menopang kekuatan dan ketahanan pangan,” tambah Tito.
Dia pun mempertanyakan data yang dipaparkan Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementan Suwandi tersebut.
“Yang klasik adalah masalah data. Yaitu di titik mana saja, per provinsi kabupaten kota, angka 54,75 juta ton (gabah kering giling/ GKG) itu bisa kita dapatkan? Betul riil segitu? Betul 54,75 ton setelah digiling betul bisa 31,54 juta ton?,” tukasnya.
“Kalau bisa kita yakinkan semua titiknya, kita nggak perlu khawatir dengan kebutuhan 30 juta ton. Tercukupi, lebih 1 juta ton lebih kurang,” ujar Tito.
Dia kemudian merekomendasikan agar ada rekonsiliasi data.
“Kalau riil berarti distribusi, logistik, persoalannya. Bukan persoalan pengadaan,” ujar Tito.
Sementara itu, dalam kesempatan sama, Suwandi mengatakan, ada persaingan tak sempurna antara bagian pembentuk harga beras di dalam negeri.
Mulai dari petani, middleman (penggilingan), hingga ke konsumen.
Selain itu, dia menambahkan, psikologi pasar akibat krisis ekonomi global hingga kebijakan larangan ekspor oleh India, turut menambah pengaruh terhadap pembentukan harga beras di dalam negeri.
Di sisi lain, dalam bahan paparan Suwandi terungkap, pemegang stok dominan jadi pengendali harga. Di mana, petani dan konsumen bukan dalam posisi price maker.
“Produsen saat ini sedang bagus, petani yang sedang panen saat ini senyum semua. Tapi sebagian nyetok. Kami imbau petani jangan stok banyak-banyak, lepas lah ke pasar. Terutama ke middleman (penggilingan) ini,” kata Suwandi.
Sumber Berita : CNBC Indonesia