Oleh: Naupal Al Rasyid, S.H., M.H. (Direktur LBH FRAKSI ’98)
PENDAHULUAN – Gelombang demonstrasi besar yang melanda Jakarta dan berbagai kota di Indonesia pada 25-28 Agustus 2025 lalu telah memicu respons cepat dari panggung politik.
Sebagai jawaban atas tekanan publik, sejumlah partai politik menempuh langkah “menonaktifkan” lima orang anggotanya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang dinilai melontarkan pernyataan kontroversial dan menyinggung perasaan rakyat.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, di tengah panasnya tuntutan publik, muncul pertanyaan mendasar: Apakah istilah “penonaktifan” memiliki dasar hukum yang kuat, atau ini sekadar manuver politik untuk meredam amarah sesaat?
Langkah Politik Tanpa Payung Hukum
Secara praktis, penonaktifan berarti anggota DPR yang bersangkutan tidak lagi mendapatkan fasilitas ataupun tunjangan. Namun, langkah ini tidak serta merta menghentikan status atau mengganti anggota dewan tersebut secara permanen.
Jika kita merujuk pada payung hukum utama, yaitu UU Nomor 17 Tahun 2014 jo. UU Nomor 13 Tahun 2019 (UU MD3), kita tidak akan menemukan satu pun pasal yang mengatur tentang mekanisme “penonaktifan”.
UU MD3 hanya mengenal tiga mekanisme pemberhentian anggota DPR, sebagaimana diatur dalam Pasal 239 ayat (1), yaitu:
- Meninggal dunia.
- Mengundurkan diri.
- Diberhentikan.
Dengan demikian, “penonaktifan” lebih terlihat sebagai upaya tentatif partai untuk merespons tekanan publik daripada sebuah tindakan hukum yang sistematis.
Langkah ini berpotensi menciptakan preseden yang kurang baik karena bersifat subjektif, tergantung pada kebijakan pimpinan partai, dan sulit dikontrol oleh masyarakat. Padahal, anggota DPR adalah wakil rakyat, bukan sekadar perwakilan partai.
Mekanisme Resmi: Recall atau Pergantian Antar Waktu (PAW)
Istilah yang secara normatif dan hukum diakui untuk mengganti anggota dewan di tengah masa jabatan adalah Pemberhentian Antarwaktu (PAW) atau yang lebih populer dikenal sebagai hak recall.
Pakar hukum BN Marbun (2006) mendefinisikan recall sebagai hak pemilih untuk mengganti anggota DPR yang dinilai tidak memadai atau tidak memenuhi harapan.
Dalam pandangan ini, recall bukan sekadar proses pemecatan, melainkan instrumen demokrasi yang memberikan kontrol langsung kepada rakyat terhadap para wakilnya, sehingga memperkuat prinsip akuntabilitas.
Dasar Hukum dan Prosedur Recall Anggota DPR
Jika penonaktifan kelima anggota DPR tersebut hendak ditingkatkan menjadi langkah hukum yang sah, maka prosesnya harus melalui mekanisme recall sesuai UU MD3. Ada dua pasal yang menjadi pintu masuk utama:
- Pasal 222 UU MD3: Mengatur pemberhentian anggota DPR yang melanggar sumpah/janji jabatan. Anggota yang tidak memenuhi janji yang diucapkan saat dilantik dapat diproses melalui pasal ini.
- Pasal 241 UU MD3: Menekankan sanksi bagi anggota DPR yang melanggar disiplin dan aturan internal partai politik. Partai memiliki kewenangan untuk mengusulkan pemberhentian anggotanya yang melanggar AD/ART.
Proses recall bukanlah proses yang sederhana dan sepihak. Prosedurnya berjenjang untuk memastikan keabsahan dan keadilan, yang melibatkan:
- Usulan dari Partai Politik: Partai yang bersangkutan secara resmi mengajukan usulan pemberhentian anggotanya kepada Pimpinan DPR.
- Verifikasi oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD): Pimpinan DPR meneruskan usulan tersebut ke MKD (dulu disebut Badan Kehormatan). MKD bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi untuk membuktikan apakah anggota tersebut benar-benar melanggar sumpah/janji atau kode etik.
- Persetujuan Paripurna DPR: Jika hasil verifikasi MKD menyatakan anggota terbukti bersalah, Pimpinan DPR akan mengumumkannya dalam rapat paripurna untuk mendapatkan persetujuan.
- Peresmian oleh Presiden: Terakhir, Pimpinan DPR menyampaikan surat pemberhentian tersebut kepada Presiden untuk diresmikan melalui Keputusan Presiden (Keppres).
Kesimpulan: Recall Terukur, Bukan Sekadar Manuver
Hak recall yang terukur pada hakikatnya tidak bertentangan dengan demokrasi. Tindakan partai politik terhadap lima anggota DPR yang dinilai menghina perasaan rakyat sejatinya dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran sumpah/janji (Pasal 222) atau pelanggaran disiplin partai (Pasal 241).
Oleh karena itu, langkah yang seharusnya ditempuh adalah memprosesnya melalui mekanisme recall yang memiliki legitimasi hukum jelas dan tegas. Menggantung status mereka hanya dengan istilah “penonaktifan” adalah langkah yang tidak sistematis dan cenderung politis.
Proses hukum melalui recall akan membuktikan apakah sanksi tersebut benar-benar didasarkan pada pelanggaran nyata atau sekadar hegemoni partai untuk menenangkan publik.
Disclaimer: Tulisan ini adalah opini pribadi penulis dan tidak selalu mencerminkan kebijakan redaksi.
Eksplorasi konten lain dari RakyatBekasi.Com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
Penulis : Naupal Al Rasyid, S.H., M.H. (Direktur LBH FRAKSI ’98)
Editor : Bung Ewox





























