Oleh: NAUPAL AL RASYID, SH., MH (Direktur LBH FRAKSI ’98)
Terlepas dari masalah pro dan kontra, Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) dan pengacaranya sudah membuat laporan terkait pelanggaran Pasal 310 dan 311 KUHP dan Pasal 27A, 32, dan 35 Undang-Undang ITE pada rabu, 30 April 2025 dan langsung diproses dan memasuki tahap penyelidikan oleh tim Subdit Kamneg Direskrim Polda Metro Jaya. Jokowi melaporkan lima orang yakni RS, RS, ES, T, dan K.
Yakup mengatakan melaporkan lima orang tersebut atas dugaan fitnah, pencemaran nama baik, dan pencemaran nama baik menggunakan media elektronik. Sehingga laporan yang dibuat salah satunya menggunakan Undang-Undang ITE. (TEMPO.CO 30 April 2025).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Merupakan hal yang menarik, dalam Pasal 310 ayat (3) KUHP ditentukan bahwa tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.
Jelaslah, Pasal 310 ayat (3) KUHP tersebut merupakan suatu ayat yang meniadakan sifat dapat dipidana dari perbuatan-perbuatan yang dirumuskan dalam ayat (1) dan ayat (2) Pasal 310 KUHPidana. Dengan kata lain, Pasal 310 ayat (3) KUHP ini merupakan suatu alasan penghapus pidana atau yang dalam bahasa Belanda disebut, strafuitsluitingsgrond.
Terhadap pelanggaran Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP yang mana disini dibuat untuk pengecualian sebagai alasan untuk tidak dapat dihukum, meskipun telah berbuat suatu perbuatan menista atau menista dengan surat.
Hal ini, diatur dalam Pasal 310 ayat (3) yang adalah sebagai berikut: “Tidak dapat dikatakan menista atau menista dengan surat jika nyata perbuatan itu dilakukan untuk mempertahankan kepentingan umum atau karena terpaksa untuk mempertahankan diri”.
Rumusan Pasal 310 ayat (3) KUHP terdapat 2 (dua) versi, khususnya terhadap “mempertahankan kepentingan umum” yang juga digunakan istilah membela kepentingan umum”. Prof Satochid Kartanegara (2001), memutuskan kepentingan umum sebagai berikut: “Apabila penuduh menyatakan tuduhannya itu dilancarkan untuk kepentingan umum, maka ini berarti bahwa kepentingan umum dengan tuduhan itu diuntungkan”.
Sedangkan, Mr. Tirtamidjaja (1955), memberikan contoh tentang “kepentingan umum” sebagai berikut: “Untuk kepentingan umum misalnya bertindak seorang Kepala Polisi yang memberi peringatan dalam surat kabar pada umumnya terhadap tipu daya seorang tertentu”.
Selanjutnya, karena terpaksa untuk mempertahankan diri dan memberikan contoh sebagai berikut: “Bertindak untuk membela diri karena terpaksa misalnya orang yang dengan tidak benar telah dituduh melakukan sesuatu pelanggaran pidana, menunjuk orang yang sebenarnya melakukan pelanggaran pidana itu”.
Jadi, tampaknya persepsi kepentingan umum dan membela diri karena terpaksa tersebut memerlukan pengamatan yang cermat agar dapat memahami dengan tepat, mengenai hal ini juga Mr. Tirtamidjaja mengutarakan sebagai berikut: “hanya hakim yang memutuskan apakah orang itu telah bertindak untuk kepentingan umum atau untuk membela diri karena terpaksa, akan tetapi ia baru berbuat demikian kalau orang yang melakukan perbuatan itu menyandarkan diri pada hal itu”. (Tirtamidjaja, 1955).
Mengenai lima orang, yakni RS, RS, ES, T, dan K yang dilaporkan Jokowi atas dugaan fitnah, pencemaran nama baik, dan pencemaran nama baik menggunakan media elektronik, dikaitkan dengan alasan penghapus pidana yang diatur dalam Pasal 310 ayat (3) KUHP yang merupakan suatu alasan penghapus pidana khusus, artinya merupakan alasan penghapus pidana yang hanya berlaku untuk tindak-tindak pidana yang tertentu saja, yang sudah ditentukan secara tegas dalam pasal itu sendiri.
Dengan demikian, alasan penghapus pidana khusus ini tidak berlaku untuk tindak-tindak pidana lain yang tidak disebutkan secara tegas tersebut. Terhadap pelanggaran Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP yang mana disini dibuat untuk pengecualian sebagai alasan ditentukan secara tegas dalam pasal itu untuk tidak dapat dihukum, meskipun, telah berbuat suatu perbuatan menista atau menista dengan surat.
Apabila penuduh, yakni RS, RS, ES, T, dan K menyatakan bahwa tuduhan itu dilancarkan untuk kepentingan umum, maka berarti bahwa kepentingan umum dengan tuduhan itu diuntungkan.
Tampaknya persepsi kepentingan umum dan membela diri karena terpaksa tersebut memerlukan pengamatan yang cermat agar dapat memahami dengan tepat. Mengenai hal ini, dijelaskan Mr. Tirtamidjaja (1955) antara mengutarakan sebagai berikut: “Hanya hakim yang memutuskan apakah orang itu telah bertindak untuk kepentingan umum atau untuk membela diri karena terpaksa untuk kepentingan akan tetapi ia baru berbuat demikian, kalua orang yang melakukan perbuatan itu menyandarkan diri pada hal itu”.
Memang, hakim yang memutuskan hal tersebut, tetapi penilaian hakim tersebut bukan tidak didasari objektivitas, sehingga pertimbangan hakim menjadi sesuatu yang layak.
Lebih lanjut, perbuatan yang dilakukan untuk kepentingan umum adalah memerlukan kecermatan untuk dapat benar-benar dipertanggungjawabkan dan dapat diutarakan bahwa perbuatan yang telah dilakukan adalah alternatif terbaik.
Dan, dalam kenyataan memang mudah untuk membuat alasan “demi kepentingan umum” tetapi agar alasan tersebut dapat diterima, maka perlu diajukan argumentasi serta bukti tentang “bahaya” atau “kerugian” masyarakat umum yang dapat dihindarkan atau ditangkal dari hal atau perbuatan itu, sehingga tampak bahwa masyarakat umum dengan perbuatan itu, lebih diuntungkan. (Leden Marpaung, 2010).
Mengenai apa yang dimaksudkan dengan kata-kata “jelas dilakukan demi kepentingan umum” dalam ayat (3) dari pasal 310 KUHP, diberikan penjelasan oleh S.R. Sianturi (1983) sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan secara gamblang demi kepentingan umum ialah bahwa si petindak memang secara jelas dan tegas menuduhkan sesuatu hal agar supaya umum waspada kepada oknum yang dicemarkan itu”.
Mengenai cara melakukan perbuatan demi kepentingan umum ini, pernah dipertimbangkan oleh Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) dalam putusannya tanggal 26 November 1934 bahwa, “apabila publikasi itu adalah untuk kepentingan umum, maka si pelaku harus menyebutkannya secara cukup. Dengan menyalahkan seseorang dengan mempergunakan perkataan-perkataan yang bernada marah, tidaklah dapat kepentingan umum itu dikatakan dibela”. (Lamintang, 1983).
Dengan alasan, demi kepentingan umum harus mengindahkan sopan santun. Penggunaan kata-kata kasar, sekalipun benar perbuatannya dilakukan demi kepentingan umum, akan mengakibatkan yang bersangkutan dipersalahkan sebagai melakukan penghinaan ringan.
Sebagaimana, dalil atau alasan untuk kepentingan umum dihubungkan terhadap laporan Jokowi terhadap lima orang yakni RS, RS, ES, T, dan K atas dugaan fitnah, pencemaran nama baik, dan pencemaran nama baik menggunakan media elektronik, memerlukan kecermatan untuk dapat menjadi argumen yang dapat dipertanggungjawabkan dan dapat diutarakan bahwa perbuatan yang telah dilakukan adalah alternatif terbaik.
Faktanya, memang mudah untuk membuat alasan demi “kepentingan umum”, tetapi agar alasan tersebut dapat diterima maka perlu diajukan argumentasi serta bukti tentang bahaya atau kerugian masyarakat umum yang dapat dihindarkan atau ditangkal dari hal atau perbuatan itu.
Sehingga tampak bahwa Masyarakat umum dengan perbuatan itu, lebih diuntungkan. Selain itu, penerapan Pasal 310 ayat (3) KUHP ditentukan, sebagaimana yang diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional, bahwa, “Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri”. (Tim Penerjemah BPHN, 1983).
Jelaslah, bahwa Pasal 310 ayat (3) KUHP tersebut merupakan suatu ayat yang meniadakan sifat dapat dipidana dari perbuatan-perbuatan yang dirumuskan dalam ayat (1) dan ayat (2) Pasal 310 KUHP. Dengan kata lain, bahwa Pasal 310 ayat (3) KUHP ini merupakan suatu alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsgrond) atas delik fitnah, pencemaran nama baik, dan pencemaran nama baik menggunakan media elektronik.
Penulis : NAUPAL AL RASYID, SH., MH (Direktur LBH FRAKSI ’98)
Editor : Bung Ewox