أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ
“A’uudzubillahi as-samii’i al-‘Aliimi mina asy-syaithooni ar-rojiimi min hamazihii wa nafkhihii wa nftsihi” artinya: “aku berlindung kepada Allah yang Maha Mendengar dari setan yang terkutuk dari kegilaannya, kesombongannya dan nyanyiannya yang tercela” (H. R. Abu Daud 775).
Lafadz Ta’awudz, berikut berbagai varian selain tersebut sebagai pembuka ulasan di atas, sudah pernah dibahas penulis sebulumnya dalam artikel berjudul “Urgensi “Ta’awwudz” dalam Kehidupan Sehari-hari”.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Perlindungan dari setan dari berbagai macam “bentuknya” melalui berbagai arah. Berlindung dari itu semua hanya kepada Allah semata.
Maka pada kesempatan kali ini, tidak sedang hendak membahas dalil-dalil “nash” atau tekstual terkait musik yang sering kali dipertegangkan, namun penulis akan mengulas beberapa jalan yang sering kali ditempuh setan untuk mempengaruhi manusia, baik melalui kegilaannya, kesombongannya, dan nyanyiannya yang tercela.
Nyanyian, sebagaimana terlantun dalam lafadz ta’awwudz (perlindungan) di atas secara literal tercantum dan digaris bawahi penulis sebagai jejak-jejaknya atau langkah-langkah setan atau sebut istilah al-Qur’an dengan “khuthuwatisysyaithoon” yaitu melalui musik.
Pertama, hawa nafsu dan keinginan. Biasa jadi, niat awal seseorang sebelum terjerumus menjadi konsumen musik adalah keinginan, seperti rasa ingin tahu atau “curiosity” seperti ingin belajar sesuatu, praktik pelafalan bahasa Inggris, atau yang lainnya terus diikuti sehingga memunculkan rasa suka yang berkelanjutan dan menjelma hawa nafsu. Maka perlu berhati-hati.
Kedua, angan-angan kosong. Ini poin penting. Lantunan lirik diiringi musik, sebagaimana disampaikan pada poin sebelumnya dapat menarik perhatian dan membentuk gambaran-gambaran yang sejatinya hanya kekosongan belaka.
Penulis : Nazwar, S. Fil. I., M. Phil. [Penulis Lepas Yogyakarta]
Halaman : 1 2 Selanjutnya