Pernyataan viral dari Dedi Mulyadi yang menyebut bahwa anggaran iklan Pemprov Jawa Barat yang sebelumnya mencapai Rp50 miliar kini cukup dengan Rp3 miliar namun tetap viral, menjadi sorotan publik.
Pernyataan ini menegaskan bagaimana media sosial telah menjadi alat komunikasi publik yang lebih efisien, dibandingkan dengan media tradisional.
Namun, di balik efisiensi ini, muncul pertanyaan besar: Apa dampaknya bagi keberlangsungan media lokal?
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sudah lama diakui bahwa media sosial memainkan peran penting dalam komunikasi publik. Menurut Dr. Rulli Nasrullah, M.Si., seorang ahli komunikasi digital, media sosial tidak hanya berfungsi sebagai saluran penyebaran informasi, tetapi juga menciptakan ruang interaksi yang memungkinkan partisipasi publik secara real-time.
“Media sosial mendukung komunikasi dua arah, mempercepat pembentukan persepsi publik, dan memungkinkan pemangku kepentingan berinteraksi langsung dengan masyarakat,” tulis Rulli dalam bukunya Media Sosial: Perspektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi (2014).
Meski efektivitas media sosial dalam komunikasi publik tidak diragukan lagi, pergeseran anggaran dari media massa ke digital dapat menimbulkan konsekuensi serius bagi media lokal.
Prof. Masduki, Ph.D., seorang dosen di Universitas Islam Indonesia, dalam Jurnal Komunikasi Indonesia, menyebut bahwa media lokal sangat bergantung pada pendapatan iklan dari pemerintah daerah. Pengurangan anggaran iklan media tradisional berpotensi menyebabkan pemutusan hubungan kerja, menurunnya kualitas laporan, hingga mengancam keberlangsungan media lokal itu sendiri .
“Jika pemerintah tidak bijak dalam merancang kebijakan komunikasi publiknya, ketidakseimbangan informasi di tingkat daerah akan muncul, karena media sosial lebih cenderung mengangkat isu nasional dibanding persoalan komunitas lokal,” ujar Prof. Masduki (2020).
Selain dampak finansial, pergeseran strategi komunikasi pemerintah dari media tradisional ke digital berpotensi menimbulkan ketegangan dalam hubungan antara pemerintah dan media lokal.
Hubungan yang sebelumnya saling menguntungkan dalam penyebaran informasi publik dapat berubah menjadi tidak seimbang, karena pemerintah cukup berkomunikasi langsung melalui media digital tanpa peran media lokal.
Untuk menghindari keretakan informasi lokal, pemerintah daerah harus memperlakukan media lokal sebagai mitra strategis, bukan hanya sebagai saluran promosi. Sebaliknya, media sosial dan media lokal harus saling melengkapi, bukan dipertentangkan.
Di sisi lain, media lokal juga perlu beradaptasi dengan perubahan pola komunikasi di era digital. Beberapa strategi yang dapat dilakukan agar media lokal tetap relevan, di antaranya:
- Mengubah model bisnis dengan mencari sumber pendapatan baru di luar iklan pemerintah.
- Meningkatkan keterampilan digital, baik dalam penyajian berita maupun strategi pemasaran konten.
- Memperkuat keterlibatan komunitas, agar tetap menjadi sumber informasi utama bagi masyarakat lokal.
Seperti yang dikatakan Prof. Janet Steele dari Universitas George Washington, “Media lokal tetap akan relevan jika mereka mampu menunjukkan bahwa keberadaan mereka memiliki dampak langsung pada kehidupan masyarakat sekitar” (Steele, 2011, Wars Within: The Story of Tempo, an Independent Magazine in Soeharto’s Indonesia).
Kesimpulan: Perlu Keselarasan antara Media Sosial dan Media Lokal
Langkah efisiensi anggaran oleh pemerintah daerah adalah strategi yang masuk akal, namun tidak boleh mengorbankan prinsip demokrasi lokal, yang selama ini dijunjung oleh media tradisional.
Seharusnya, pemerintah daerah dan media lokal saling beradaptasi, bukan saling menggantikan. Kerja sama—bukan persaingan—harus menjadi kunci utama dalam sistem komunikasi publik di era digital ini.
Editor : Bung Ewox