Walaupun muncul polemik, beberapa parpol mengajukan bakal calon legislatif atau bacaleg yang sudah pernah tersandung kasus korupsi. Korupsinya baik terseret dengan oknum pejabat atau dilakukan berjamaah dengan sesama politisi lintas parpol.
Bagaimana bila yang masuk daftar calon wakil rakyat adalah yang sudah pernah tersangkut korupsi? Meskipun secara moral dan secara hukum sudah menjalani hukuman sesuai dengan kesalahannya.Dengan polemik ini, banyak yang menilai karena sistem kaderisasi di internal parpol tidak berjalan dengan baik.
Dalam program kerjanya tidak merangkul para kadernya untuk siap suatu saat mendapat amanat dari rakyat saat memberi hak suaranya dengan menumbuhkan moralitas dan integritas saat bertugas di gedung parlemen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Dosen dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, jika parpol peserta pemilu dapat melakukan kaderisasi yang baik, sistem internal yang kuat dan menaati hukum maka tidak akan terjadi terpilihnya orang-orang yang terpidana korupsi mencalonkan dirinya kembali.
“Ini menandakan betul, memberikan sinyal kepada pemilih bahwa parpol tersebut adalah parpol yang gagal melakukan kaderiasi. Sehingga tidak bisa menemukan kader-kader mereka yang terbaik, yang bukan mantan koruptor untuk di Daftar Calon Sementara (DCS),” kata Bivitri yang menjadi narasumber ICW secara daring, Rabu (30/8/2023).
Dengan itu, ia melanjutkan akan merugikan para pemilih di Indonesia saat ini. Pada umumnya pemilih saat ini jarang yang melihat rekam jejak dari calon legislatif yang mendaftarkan dirinya. Kebanyakan masyarakat atau pemilih, cenderung melihat hanya dari faktor keterkenalan, mentereng atau tidaknya.
Padahal pada titik inilah perlunya peran penyelenggara pemilu dan parpol sangat dibutuhkan untuk menjadi filter bagi proses pemilu ini.
“Nah filter itu yang menurut saya sampai sejauh ini masih belum berhasil untuk diterapkan,” jelas dia.
Akhirnya memunculkan harapan, seharusnya KPU membuka informasi yang cukup untuk para pemilih tentang rekam jejak dari setiap caleg yang sudah terdaftar di DCS.
“Karena potensi diulangnya perilaku koruptif itu akan sangat besar ketika mereka diizinkan kembali memegang kekuasaan. Itu yang harus dicegah,” tutur Bivitri.
Kalangan politikus dari partai politik keberatan bila kegagalan kaderisasi menjadi penyebabnya. Sebab secara peraturan diperbolehkan meskipun tetap memperhatikan moralitas dan integritas.
Parpol juga menghargai hak seseorang untuk memilih kesempatan mendekati konstituen dan menarik masyarakat untuk memberikan amanatnya kepada seorang sosok untuk menjadi wakilnya.
Terkadang parpol menerima aspirasi para pendukung seorang bacaleg untuk memberikan kesempatan maju sebagai wakil rakyat. Seperti desakan tokoh masyarakat ke DPP untuk memberikan kepercayaan kepada tokoh tertentu bertarung di pileg.
Walaupun partai memiliki mekanisme sendiri untuk menyeleksi para calon legislatornya. Seperti yang terjadi di Partai Keadilan Sejahtera atau PKS.
“Saya kurang tahu pertimbangan parpol lainnya. Di PKS ada satu nama yang tersangkut ini, dari Kalbar. Nama ini dimajukan, karena desakan tokoh masyarakat di sana. Pada tahun 2019, nama tersebut dimajukan dan di tolak oleh DPP PKS,” cerita Sekjen Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Habib Aboe Bakar Al Habsyi kepada inilah.com.Kemudian tahun ini dimajukan lagi, katanya, karena usulan dari para tokoh masyarakat.
“Oleh karenanya, tim penjaringan kemudian mencoba memberikan kesempatan kedua kepada yang bersangkutan,” jelasnya.
Memang dalam aturan tentang syarat bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD yang tertuang dalam Pasal 240 Ayat 1 huruf g Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tidak disebutkan secara khusus larangan bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar.
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya