Selain itu, juga menuturkan para mantan koruptor tersebut mempunyai tingkat keterpilihan yang tinggi. Sehingga dengan minimnya transparansi soal latar belakang bacaleg, masyarakat hanya mengandalkan calon yang mereka kenal melalui baliho-baliho yang tersebar menampilkan wajah para bacaleg.
“Jadi kadang-kadang masyarakat pemilih pendekatannya sederhana saja mengandalkan orang yang mereka kenal, balihonya, banyak posternya banyak lalu tampilan media sosialnya menarik begitu ya, dan situasi itu disayangkan saat ini diperburuk dengan sulitnya publik mendapatkan akses riwayat hidup pada caleg,” jelasnya.
Di sisi lain Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat inu mengalami kemunduran. Sebab, KPU tak membuka rekam jejak daftar riwayat hidup bakal caleg untuk pemilu 2024. Jadi beberapa faktor ikut mendukung, mulai dari KPU yang seperti itu, dari parpolnya juga menunjukkan kecenderungan seperti itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Jadi ini kemunduran ya karena di 2014-2019, profil caleg itu sudah bisa diakses sejak Daftar Calon Sementara (DCS). Bahkan ada banyak sekali inisiatif masyarakat yang bisa dilakukan dengan ketersediaan profil caleg sejak masa DCS,” ucap Titi.
Titi pun menjelaskan dengan KPU yang misalnya menolak untuk mempublikasi profil atau riwayat hidup DCS dan menunggu Daftar Calon Tetap (DCT) merupakan anomali. DCT adalah hasil yang semestinya sudah bersih dari masalah yang dihadapi oleh para bakal caleg.
Sementara Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis tidak mempersoalkan mantan narapidana kasus korupsi untuk maju pada pemilihan anggota lesgilatif (Pileg) 2024. Asalkan, kata dia, eks koruptor telah menuntaskan masa hukumannya dan tidak sedang dalam proses hukum saat maju sebagai caleg.
“Enggak apa-apa kalau dia sudah menjalani hukuman. Oke saja,” ujarnya.
Artinya, sudah bebas dari penjara selama lima tahun. Kemudian, hak politik mantan narapidana kasus korupsi itu tidak dicabut. Berarti tidak masalah atau tidak mempengaruhi proses seseorang menjadi calon legislatif. Pilihan berada di tangan masyarakat karena tidak ada yang melarang secara undang-undang dan aturan.
“Orang dah bebas dan hak politiknya tidak dicabut, ya sah dia nyaleg lagi,” papar Margarito.
Pada akhirnya, tujuan reformasi yang menjadikan praktik korupsi sebagai musuh utama belum sepenuhnya berada di jalur yang benar. Pemilihan umum legislatif yang menjadi peluang memilih wakil-wakil rakyat yang bersih, menjadi terciderai. (Diana/Mihardi/Reyhanah/Clara)