COVID-19 BA.5 menjadi subvarian yang paling banyak menyebar tidak hanya di Amerika Serikat, namun di berbagai negara lainnya termasuk Indonesia.
COVID-19 BA.5 menjadi subvarian yang paling banyak menyebar tidak hanya di Amerika Serikat, namun di berbagai negara lainnya termasuk Indonesia.
Namun ada gejala Subvarian BA.5 yang membedakan varian ini dengan beberapa varian COVID-19 sebelumnya seperti dikutip dari The New York Times pada Sabtu (06/08/2022).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Para ahli mengatakan bahwa secara garis besar gejala Subvarian BA.5 ini tidak memiliki banyak perbedaan dibandingkan dengan varian Omicron sebelumnya.
Pasien yang terinfeksi BA.5 biasanya mengalami gejala batuk, pilek, sakit pada tenggorokan (radang), nyeri sendi, sakit kepala dan merasa kelelahan.
Namun ada satu yang membedakan BA.5 dari varian lain adalah jarang ditemukan pasien BA.5 yang mengalami anosmia atau kehilangan indera perasa dan penciuman.
“Pasien BA.5 juga jarang mengalami sesak napas, gelaja yang paling dirasakan oleh pasien dengan varian Delta atau varian COVID lainnya,” ujar dokter spesialis penyakit menular dari University of California, San Francisco Dr. Peter Chin-Hong.
Sementara itu ahli penyakit paru dari Cleveland Clinic Dr. Joseph Khabbaza mengatakan pasien BA.5 cenderung mengalami gejala pada pernapasan bagian atas mulai dari pangkal tenggorokan hingga ujung hidung.
“Banyak pasien dengan BA.5 yang mengalami rasa sakit akibat penyumbatan sinus dan radang tenggorokan yang cukup parah,” kata Khabbaza.
Di Indonesia sendiri berdasarkan data Satgas COVID-19, kasus konfirmasi positif mingguan sudah mengalami kenaikan hingga 15 kali lipat.
Adapun lima daerah penyumbang kasus positif mingguan terbesar Indonesia adalah DKI Jakarta 12,93%, Jawa Barat 8,28%, Banten 11,85%, Jawa Timur 4,15%, dan Kalimantan Selatan 12,79%.
Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito mengemukakan pada Jumat (05/08/2022) kemarin, bahwa kehadiran subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 tidak bisa dianggap enteng karena menyebabkan lonjakan kasus di beberapa negara seperti Jepang, Korea Selatan, Australia dan Singapura.
“Kita harus waspada karena potensi lonjakan kasus itu masih ada. Kita perlu meminimalisir potensi lonjakan kasus dengan belajar dari negara-negara tersebut,” terang Wiku. (*)