Oleh Agung Sulistyo Adhi
Bulan Desember yang sering disebut penghujung tahun ataupun akhir tahun, identik dengan penumpukan. Di penghujung tahun ini dimana musim hujan dimulai, kita melihat banyak tumpukan sampah di sungai yang terbawa aliran dari hulu, tersangkut di pinggir kali, kolong jembatan dan di bendungan. Di periode akhir tahun juga kita sering mendengar terjadi penumpukan anggaran.
Akhir tahun sepertinya menjadi waktu yang khas buat penumpukan, ya sampah, ya anggaran. Bedanya, problem penumpukan sampah sifatnya lokal, sporadis sehingga tidak menjadi masalah nasional, sementara anggaran menyangkut kepentingan yang sangat luas, hajat hidup orang banyak dan berjalannya pemerintahan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penumpukan anggaran di akhir tahun sepertinya sudah menjadi rutinitas. Sekalipun presiden, menteri, pejabat silih berganti, anggaran masih saja asik berkumpul di bank dalam rekening pemerintah pusat maupun pemda, seperti enggan menyapa rakyat yang membutuhkan.
Lihat data berikut, realisasi belanja APBN per akhir November baru mencapai 59,62 persen atau Rp730,13 triliun dari pagu Rp1.224,74 triliun padahal hanya tersisa sekitar 1,5 bulan menuju penutupan anggaran pada 24 Desember 2021. Hal ini menyebabkan seluruh pemerintah daerah justru mengalami surplus Rp111,5 triliun karena pendapatan mereka lebih besar daripada belanjanya.
Begitu juga pemerintah pusat. Penyerapan anggaran untuk pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19, misalnya, yang bersifat mendesak dan menjadi prioritas utama, penyerapannya hingga 19 November 2021 baru mencapai 66,6 persen padahal tinggal 1 bulan 10 hari lagi tahun 2021 berakhir.
Tercatat realisasi anggaran penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PEN) mencapai Rp495,77 triliun dari total anggaran Rp744,77 triliun. Dari jumlah tersebut, realisasi anggaran untuk perlindungan sosial menempati urutan teratas sebanyak Rp140,50 triliun atau setara dengan 75,5 persen dari pagu anggaran yang berjumlah Rp186,64 triliun.
Sementara itu Pemerintah Kota Bekasi sendiri dari Data Laporan Realisasi Belanja Daerah Tahun 2021 tercatat pada 13 Desember 2021 sebesar 77,03 persen. Dari Pagu Rp6.449.614.890.862 terealisasi Rp4.968.385.432.263 dan tersisa Rp1.481.229.458.599 atau 22,97 persen.
Dari 77,03 Persen serapan anggaran yang pertama berupa Belanja Pegawai, Subsidi, Bansos, Hibah dan BTT, Pagunya sebesar, Rp2.839.710.052.659. terealisasi Rp2.422.355.641.895 atau 85,30 persen dan tersisa Rp417.354.410.764 atau 14,70 persen.
Serapan kedua Barang, Jasa, BLUD, Bos Pusat, dengan Pagu sebesar Rp2.232.053.528.866, terealisasi Rp1.792.407.998.205 atau 80,30 persen dan tersisa Rp439.645.530.661 atau 19,70 persen.
Serapan modal dengan pagu anggaran sebanyak Rp1.377.851.309.337 terealisasi Rp753.621.792.163 atau 45,70 persen dan tersisa Rp624.229.517.174 atau 45,30 persen.
“Ya dari pagu yang ada, kita menilai bahwa tidak mungkin serapan capai 100 persen, paling hanya 85 persen terserap hingga akhir tahun, Itu prediksi kita, karena tinggal menghitung hari,” kata Kepala Bidang Perbendaharaan pada BPKAD Kota Bekasi, Tria Rustiana pada Selasa (14/12/2021) lalu.
Semua pihak, yakni pemerintah pusat dan pemda, memiliki problemnya masing-masing yang membuat dana banyak menumpuk di akhir tahun. Bagi pemda, penyebab menumpuknya dana di akhir tahun karena ulah pemda yang cenderung menggenjot penerimaan daerah di akhir tahun, sehingga terjadi peningkatan atau penumpukan dana.
Ada juga dana menumpuk yang berasal dari hasil penghematan pemda, seperti dana bagi hasil (DBH) reboisasi, cukai hasil tembakau penerimaan tahun lalu yang belum dimandatkan dalam APBD tahun sekarang. Ditambah lagi tagihan atau kewajiban pembayaran ke pihak ketiga pada umumnya disampaikan pada akhir tahun.
Penumpukan dana juga terjadi karena transfer dana tidak bisa segera masuk ke kas daerah. Dana alokasi khusus dan dana alokasi umum tahap terakhir dari pemerintah pusat menunggu proses administrasi dan dokumen pertanggungjawaban sebagai dasar pengajuan pencairan dana. Di samping itu, beberapa kegiatan daerah belum selesai karena masalah teknis, seperti pembangunan jalan yang terganjal masalah pembebasan lahan.
Sementara itu, penumpukan dana akibat rendahnya penyerapan anggaran oleh pemerintah pusat karena lemahnya perencanaan anggaran. Pemerintah kurang cermat dan lemah dalam membuat perencanaan program dan proyek yang mengakibatkan daya serap anggaran rendah. Perencanaan jadwal kerja dibuat tidak tepat dan sulit untuk dilaksanakan sehingga harus direvisi. Nyaris setiap tahun ada APBN dan APBD Perubahan, revisi anggaran, atau realokasi anggaran.
Untuk menghindari rendahnya penyerapan anggaran, pemerintah harus menyusun anggaran secara sahih sehingga dalam perjalanannya tidak diperlukan lagi revisi yang mengganggu penyerapan anggaran. Revisi anggaran menimbulkan ketidakpastian yang berdampak pada penundaan keputusan alokasi anggran. Kementerian atau lembaga pemerintah kurang mendayagunakan unit satuan kerja yang memiliki anggaran khusus dalam menyusun rencana anggaran.
Proses penganggaran juga memakan waktu lama. Tarik ulur antara pihak eksekutif dan legislatif menyita waktu, penuh dengan lobi dan intrik politik. Anggaran seharusnya selesai dibahas secara rinci per mata anggaran dan disetujui bersama pada akhir tahun sehingga bisa dilaksanakan pada Januari tahun berikutnya oleh semua kementerian dan lembaga sesuai dengan program kerjanya masing-masing.
Faktanya justru bertentangan. Persetujuan APBN maupun APBD pada akhir tahun masih berkutat pada besaran pagu masing-masing kementerian atau Organisasi Perangkat Daerah, sedangkan rinciannya baru dibahas pada Januari-Maret tahun berikutnya sehingga anggaran terlambat dieksekusi.
Baik pihak eksekutif dan legislatif punya andil atas keterlambatan pembahasan anggaran. Pemerintah mengajukan anggaran tidak tepat sasaran, sementara Sang Pengawas juga membawa kepentingan di dalamnya. Cilakanya kalau tidak ada titik temu sehingga pembahasan anggaran terkatung-katung.
Kendala lain dari sisi waktu. Tahun anggaran yang berdurasi satu tahun terlalu pendek untuk proyek yang memiliki kompleksitas dan tuntutan kualitas yang tinggi yang umumnya dikerjakan lebih dari satu tahun. Proyek seperti ini mestinya dibuat dalam anggaran yang sifatnya multiyears, tidak dipaksakan selesai dalam satu tahun sesuai waktu anggaran. Sejumlah proyek tak jadi dilaksanakan karena terbentur waktu.
Rendahnya penyerapan anggaran diperparah lagi dengan proses tender yang lambat sehingga memperpanjang seluruh rangkaian pengerjaan proyek. Para pejabat pembuat komitmen dan kuasa pengguna anggaran tidak menguasai ketentuan pengadaan barang dan jasa serta pelaksanaan anggaran.
Semoga di tahun mendatang, mitigasi atas rendahnya penyerapan anggaran harus dilakukan secara komprehensif dan selanjutnya pemerintah melakukan pembenahan, mulai dari perencanaan anggaran hingga eksekusi di lapangan agar tidak terjadi lagi penumpukan dana dan penyerapan anggaran yang masih rendah di setiap akhir tahun.
Jangan sampai penumpukan anggaran di akhir tahun membuat kementerian atau OPD kalap, lalu membabi buta menghabiskan uang negara yang tak tepat sasaran.