Sejak tahun 2017 kita disuguhi kisruh Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi. katanya yang pada awal kebijakan ini untuk pemerataan pendidikan. Tidak ada sekolah favorit, sekolah tidak harus jauh-jauh dari rumah. Asal masuk dalam zonasi yang ditunjukkan dengan bukti Kartu Keluarga (KK) bisa sekolah negeri di dekat rumah.
Namun itu idealnya. Drama PPDB sistem zonasi nyatanya tiap tahun selalu kisruh. Ada orang tua murid yang emosi karena yang didekat rumah terpental, tetapi ada siswa yang jauh dari sekolah justru masuk kuota. Seperti terjadi di Kota Bogor yang viral di jagad maya.
Lebih miris lagi setelah dicek data KK, rupanya hanya numpang ke warga dekat sekolah. Sehingga muncul dugaan, ada oknum yang masuk angin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bisa dari oknum sekolah yang main mata atau oknum yang memiliki kuasa membuat KK palsu. Dunia pendidikan akhirnya tercoreng setiap tahun. Bagaimana bisa?
Sebuah kebijakan yang bijaksana tetapi tiap tahun harus dikangkangi secara luas. Bukan pendidikan yang merata tetapi praktek curang dan manipuasi aturan yang terjadi di mana-mana.
Sebuah fenomena yang merusak tujuan mulia. Anak usia sekolah harus menyaksikan drama yang merusak tujuan mulia mencari tempat sang anak menuntut ilmu di bangku sekolah.
Seperti apa sebenarnya sistem zonasi pendidikan yang mulai diterapkan tujuh tahun lalu? Sistem zonasi pendidikan adalah sebuah upaya percepatan kebijakan pemerataan mutu pendidikan yang dilakukan dengan pendekatan layanan berbasis geospasial.
Sistem ini pertama kali diperkenalkan ke masyarakat di 2016 dan berlaku secara efektif pada 2017 dalam penataan sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Sistem zonasi PPDB ini merupakan jalur pendaftaran bagi siswa sesuai dengan ketentuan wilayah zonasi domisili. Ini yang menentukan adalah pemerintah daerah.
Tujuan dari diberlakukannya sistem ini, semata-mata untuk mendukung layanan pendidikan yang merata. Jadi, tidak ada lagi istilah sekolah favorit dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Alhasil, sistem zonasi adalah salah satu jalur yang menyumbang jumlah siswa terbanyak dalam proses penerimaan peserta didik baru. Sebab, dari jalur ini sekolah menyediakan 50 persen daya tampung untuk siswa baru.
Sebenarnya aspek ketidakadilan pendidikan yang ingin didobrak dengan sistem ini. Sebab, akses terhadap layanan pendidikan belum merata di banyak daerah.
Artinya masyarakat belum dapat mengakses pendidikan dengan mudah. Belum lagi ketimpangan layanan pendidikan terjadi di sekolah favorit sehingga meningkatkan diskriminasi layanan pendidikan di sekolah.
Pemerataan Pendidikan
Layanan yang belum merata pada usia sekolah adalah salah satu permasalahan di dunia pendidikan Indonesia. Belum lagi, kondisi geografis yang berbeda dan infrastruktur pendukung yang belum merata menyebabkan ketimpangan semakin ketara dan nyata.
Sekolah negeri yang merupakan institusi pemerintah yang dibiayai oleh negara, sejatinya harus menyediakan layanan pendidikan terbaik bagi masyarakat. Tetapi, diskriminasi dalam layanan pendidikan masih kerap terjadi di Indonesia.
Salah satu contohnya adalah siswa dengan nilai UN rendah sulit mendapatkan layanan pendidikan bermutu dari pemerintah.
Ini berbeda dengan siswa dengan nilai UN yang tinggi. Oleh karena itu, sistem ini akan mempercepat pemerataan mutu pendidikan di seluruh wilayah Indonesia.
Ide Sang Muhadjir Effendy
Sistem zonasi pendidikan, idenya muncul berasal dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Muhadjir Effendy di tahun 2016.
Saat itu, mendapat tugas dari Presiden Jokowi menggantikan Anies Baswedan sebagai Mendikbud. Muhadjir mengeluarkan kebijakan baru PPDB berbasis zonasi.
Hal ini untuk mempercepat pemerataan mutu pendidikan di Indonesia. Selain itu, kebijakan ini digadang-gadang mampu menghapus diskriminasi layanan pendidikan yang selama ini terjadi.
Kebijakan sistem zonasi pada PPDB dilengkapi dengan kebijakan lain. Muhadjir Effendy juga melakukan berbagai kebijakan lain selama masa jabatannya.
Mulai dari revitalisasi pendidikan vokasi, percepatan distribusi Kartu Indonesia Pintar (KIP), pelatihan guru secara berkelompok melalui Kelompok Kerja Guru (KKG) mata pelajaran, penyediaan kuota guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dan pembentukan Dana Alokasi Umum (DAU) untuk menyelesaikan solusi gaji guru honorer.
Infografis Sistem Zonasi, Semua Bisa Sekolah (Dok. Kemendikbudristek)
Pada tahun-tahun awal, ada kebijakan mengatasi kesenjangan dunia pendidikan dengan sistem ini. Kalau kesenjangan kualitas pendidikan di berbagai daerah, dapat diatasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Namun tahun berjalan, berkata lain nyatanya permasalahan tahunan ini belum dapat diantisipasi.
“Tetapi, kalau kesenjangan kualitas dapat diatasi, maka ada pemerataan pendidikan, jadi problemnya itu adalah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) membuat kebijakan di mana pemerataan pendidikan itu harus merata di setiap daerah. Sehingga tidak ada kesenjangan sekolah favorit dan tidak favorit,” kata Staf Khusus (Stafsus) Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Antonius Benny Susetyo kepada Mihardi, Kamis (03/08/2023).
Menurut Romo Benny sapaan akrabnya, sistem zonasi yang menimbulkan masalah tahunan, seyogianya ditinjau ulang. Hal itu perlu dilakukan guna mengantisipasi permasalahan di tahun depan.
“Maka ini yang seharusnya ditinjau ulang dan dikoreksi. Selama zonasi tidak dikoreski total, dengan kemampuan kita untuk menerapkan sistem pendidikan yang bermutu dan berkualitas, sistem zonasi akan jadi masalah,” terang Romo Benny.
Romo Benny mengatakan, sistem zonasi tidak perlu dibubarkan.
“Tetapi, kata dia, cari akar masalahnya kemudian diperbaiki. Saatnya zonasi itu dikoreksi total. Permasalahannya adalah kualitas pendidikan yang mengalami kesenjangan, maka pemerataan sistem pendidikan dengan membangun suatu kualitas pendidikan yang sama di setiap tempat dengan membangun kerja sama dengan sekolah-sekolah yang favorit,” tuturnya.
Sebaran Peserta Didik
Tindak lanjut penerapan sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), menurunkan beberapa pokok kebijakan. Di antaranya adalah redistribusi guru, baik secara jumlah maupun kualitas.
Selain itu, pemerintah akan segera menerapkan kebijakan terkait penataan sekolah. Kalau ternyata suatu sekolah kelebihan daya tampung, karena siswanya lebih sedikit dari jumlah sekolah, nanti bisa regrouping.
Fungsi sistem zonasi juga merupakan upaya mencegah penumpukan sumber daya manusia yang berkualitas dalam suatu wilayah tertentu dan mendorong pemerintah daerah serta peran serta masyarakat dalam pemerataan kualitas pendidikan sesuai amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Jadi terlihat tingkat pemerataan guru, baik jumlah maupun tingkat kualifikasi.
Tidak bisa dibiarkan ada satu sekolah yang isinya hanya satu guru PNS, dan ada sekolah yang isinya guru-guru PNS bersertifikat.
Sistem zonasi, berarti dapat menghadirkan populasi kelas heterogen, sehingga akan mendorong kreativitas pendidik dalam pembelajaran di kelas.
Salah satu arah kebijakan zonasi ini adalah meningkatkan keragaman peserta didik di sekolah, sehingga nantinya akan menumbuhkan miniatur-miniatur kebhinekaan di sekolah.
Namun ada hal yang perlu diingat perihal pentingnya penguatan tripusat pendidikan. Terwujudnya ekosistem pendidikan yang baik menjadi tujuan jangka panjang yang ingin dicapai melalui kebijakan zonasi.
Peranan sekolah, masyarakat, dan keluarga, dipandang sama penting dan menentukan keberhasilan pendidikan anak.
Faktor inilah inti ekosistem pendidikan. Tugas pemerintah tentu membangun lingkungan pendidikan yang baik, yang ada hubungan positif antara sekolah, masyarakat dan keluarga sesuai dengan filosofi bapak pendidikan Ki Hajar Dewantara.
Meskipun kewenangan pendidikan dasar dan pendidikan menengah telah dibagi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, diharapkan kerja sama antar pemerintah kabupaten, kota, dan pemerintah provinsi tidak terbatasi sekat-sekat birokrasi.
Masing-masing pemerintah daerah sesuai kewenangannya diperkenankan melakukan penyesuaian kebijakan dengan memperhatikan situasi dan kondisi yang ada untuk pelayanan publik yang baik.
Zonasi berarti melampaui wilayah administrasi. Karena itu perlu ada kerja sama antara dinas pendidikan pemerintah kabupaten/kota, maupun provinsi untuk menetapkan zona.
Dengan zonasi, pemerintah daerah sejak jauh hari sudah bisa membuat perhitungan tentang alokasi dan distribusi siswa.
Kebijakan zonasi pada penerimaan peserta didik baru diatur di dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 14 Tahun 2018 yang menggantikan Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017 tentang PPDB.
Di dalam pasal 16 disebutkan bahwa sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari Sekolah paling sedikit sebesar 90 persen dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima.
Adapun radius zona terdekat ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kondisi berdasarkan ketersediaan anak usia Sekolah di daerah tersebut; dan jumlah ketersediaan daya tampung dalam rombongan belajar pada masing-masing Sekolah.
Pada pasal 19, Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 mengamanatkan sekolah yang dikelola pemerintah daerah untuk mengalokasikan tempat (kuota) dan membebaskan biaya untuk peserta didik dari kalangan keluarga tidak mampu, sebesar minimal 20 persen kepada peserta didik dari jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima.
Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66 Tahun 2010 pasal 53 tentang Penyelenggaraan Pendidikan yang merupakan turunan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Harapannya, hal ini dapat mengurangi jumlah anak putus sekolah atau anak tidak sekolah (ATS) di masyarakat.
Pemanfaatan Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
Sejalan dengan kebijakan zonasi, pemerintah juga terus menjamin hak layanan dasar masyarakat tidak mampu melalui Program Indonesia Pintar (PIP) yang meringankan biaya personal pendidikan.
Selain itu, pemerintah juga terus meningkatkan jumlah dan komponen penggunaan dana BOS.
Untuk sistem zonasi dengan tujuan aspek pemerataan kualitas sekolah, bisa diatasi dengan penyaluran BOS.
Program ini bergulir setiap tahunnya di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat SMP.
Program yang sudah bergulir sejak 2015 silam ini merupakan bantuan pendanaan yang diberikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) kepada sekolah yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai biaya operasional sekolah.
Awalnya program BOS digulirkan untuk meningkatkan aksesibilitas pendidikan bagi masyarakat. Sejalan dengan bertambahnya anggaran yang disediakan oleh pemerintah, tujuan program BOS pun meningkat, dimana sekarang lebih kepada upaya untuk meningkatkan mutu pembelajaran bagi peserta didik.
Apalagi setiap sekolah berhak menerima dana BOS selama sekolah tersebut senantiasa memperbarui data sekolah melalui platform Data Pokok Pendidikan (Dapodik) sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Khusus untuk sekolah swasta, juga harus dapat menunjukkan bahwa sekolah telah memiliki ijin pendirian/ijin operasional dan telah melakukan proses pembelajaran secara aktif.
Sebagai wujud tanggung jawab dan komitmen dari Kemendikbud, maka sejak tahun 2019, program BOS berkembang menjadi 3 jenis bantuan, yaitu BOS Reguler, BOS Afirmasi, dan BOS Kinerja.
Untuk BOS Reguler merupakan bantuan yang diberikan kepada sekolah dengan basis perhitungan berdasarkan jumlah peserta didik ada di sekolah penerima sebagaimana tercatat di Dapodik.
Adapun besar bantuan dana BOS Reguler tahun 2020 dihitung dengan satuan biaya Rp 1.100.000/siswa/tahun untuk jenjang SMP.
Sedangkan BOS Afirmasi, merupakan bantuan pembiayaan khusus untuk sekolah di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal).
Bantuan ini digulirkan sebagai wujud perhatian lebih dari pemerintah kepada sekolah-sekolah di wilayah tersebut yang memiliki kebutuhan pembiayaan relatif lebih tinggi dibanding sekolah yang berada di daerah lainnya.
Terakhir, BOS Kinerja merupakan bantuan yang diberikan kepada sekolah yang memiliki kinerja terbaik di masing-masing daerah.
Sejalan dengan kebijakan Kemendikbud untuk memberikan perhatian lebih pada sekolah-sekolah di daerah 3T, maka pemberian dana BOS Kinerja tahun 2020 dikhususkan pada sekolah dengan kinerja terbaik pada setiap daerah di wilayah 3T tersebut.
Pada pelaksanaan tahun 2020, dana BOS disalurkan secara langsung dari Rekening Kas Umum Negara (RKUN) ke rekening sekolah dalam 3 tahap.
Mekanisme ini berbeda dibandingkan dengan mekanisme penyaluran sebelumnya dimana dana BOS disalurkan dari RKUN ke Rekening KAs Umum Daerah (RKUD) terlebih dahulu sebelum kemudian disalurkan ke rekening sekolah penerima.
Kebijakan perubahan mekanisme penyaluran ini merupakan terobosan yang diambil pemerintah untuk mengupayakan penyaluran dana BOS secara lebih tepat waktu.
Dengan mekanisme penyaluran baru tersebut, salah satu faktor penentu ketepatan waktu penyaluran dana adalah kecepatan proses validasi rekening sekolah.
Untuk mendukung proses tersebut, sekolah harus memastikan rekening yang tercantum dalam sistem BOS Salur sudah sesuai dengan yang tercatat dalam sistem di bank.
Sejatinya, dengan program BOS bisa untuk menyapakan kualitas sekolah secara nasional.
Di dalam manfaat program BOS seperti untuk penerimaan peserta didik baru, kegiatan pembelajaran dan ekstrakurikuler, evaluasi pembelajaran, pengembangan perpustakaan, administrasi kegiatan sekolah, pengembangan profesi guru dan tenaga pendidikan, langganan daya dan jasa, pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah.
Belum lagi untuk pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah, penyediaan alat multi media pembelajaran, pembiayaan honor guru. Bahkan bisa untuk penyelenggaraan bursa kerja khusus, penyelenggaraan uji kompetensi keahlian, sertifikasi kompetensi guru.
Jadi tidak terbantahkan program BOS bisa untuk mensejajarkan kualitas semua sekolah, baik di desa maupun di kota. Sebab penyaluran sesuai dengan jumlah sekolah dan jumlah siswa.
Program BOS bisa menghilangkan istilah sekolah favorit. Kenapa dalam kenyataan saat PPDB orang tua selalu berebut sekolah yang dinilai favorit. Sepertinya ada yang salah selama ini.
“Jika kebijakan kementerian tiap tahun dianggap bermasalah, ya tinggal diganti Permendikbudnya, karena PPDB itu cukup Permendikbud. Justru saya malah bingung kenapa sudah tahu, katakan lah menjadi isu dimana-mana, kok masih dipertahankan, ada apa,” jawab Dede Yusuf, Wakil Ketua Komisi X DPR, saat dikonfirmasi Diana Rizky, Kamis (03/08/2023).
Melalui Komisi X, DPR sudah memanggil jajaran Kemendikbudristek untuk mengetahui respon cepat mereka. Dari kisruh PPPDB bisa disimpulkan setiap tahun calon muridnya bertambah dan masyarakat sudah tidak menghendaki dengan sistem zonasi sekolah saat PPDB.
Artinya ada yang salah dalam penerapan kebijakan PPDB ini. Akhirnya DPR memberi batas waktu hingga Oktober untuk pemerintah mengevaluasi sistem ini.
“Tapi jika sampai Oktober ternyata cukup merubah beberapa elemen, ya silakan dirubah. Yang penting tujuan utamanya tadi anak-anak tetap bisa bersekolah dan tidak memberatkan orang tua gitu,” tegas politisi Partai Demokrat dari Jawa Barat ini.
Sekolah Tanpa Pungutan?
Dana BOS merupakan pelaksanaan dari Pasal 34 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pasal tersebut mengamanatkan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menjamin terselenggaranya wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa ada pungutan biaya.
Untuk dana BOS reguler tahun 2020, seluruhnya naik Rp. 100.000. Rinciannya masing-masing yaitu siswa SD Rp 900.000, siswa SMP/MTs sebesar Rp 1,1 juta, tingkat SMA dari Rp 1,5 juta, sedangkan SMK sebesar Rp 1,4 juta.
Untuk tahun ini, 2020, SD naik unit costnya dari Rp800 ribu menjadi Rp900 ribu. Untuk SMP, dari 1 juta menjadi Rp1.100.000.
Untuk SMA naik dari Rp1,4 juta menjadi Rp1,5 juta. SMK akan tetap sama karena tahun lalu telah dinaikkan dari Rp1,4 juta menjadi Rp1,6 juta.
Untuk total anggaran yang dikucurkan untuk dana BOS 2021 sebanyak Rp52,5 triliun yang menyasar kepada 216.662 sekolah pada jenjang pendidikan SD, SMP, SMA/SMK, dan SLB di Indonesia.
Mulai 2021, nilai satuan biaya operasional sekolah juga berbeda antar daerah, karena dihitung berdasarkan indeks kemahalan konstruksi (IKK) dan Indeks Peserta Didik (IPD) tiap wilayah kabupaten/kota.
Rentang nilai satuan biaya per peserta didik per tahun jenjang Sekolah Dasar (SD) rata-rata kenaikan 12,19 persen, sementara jenjang SMP rata-rata kenaikan 13,23 persen.
Kemudian untuk jenjang SMA rata-rata kenaikan 13,68 persen dam SMK sebesar 13,61 persen serta jenjang SLB rata-rata kenaikannya 13,18 persen.
Kebijakan terbaru mengenai Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) pada 2020 ini membawa angin segar bagi sekolah.
Pasalnya, ada kenaikan anggaran Dana BOS sebesar 6,03%. Tahun ini pemerintah menyalurkan Rp 54,32 triliun untuk sasaran 45,4 juta siswa.
Mengutip dari informasi resmi Kemendikbudristek, pada 2019, harga satuan BOS per peserta didik setiap tahun yakni SD Rp 800.000, SMP Rp 1.000.000 dan SMA Rp 1.400.000.
Sedangkan untuk kebijakan baru ini, untuk tiap peserta didik tingkat SD menerima Rp 900.000, SMP Rp 1.100.000 dan SMA Rp 1.500.000.
Artinya Dana BOS untuk tingkat SD mengalami kenaikan sebesar 13%, SMP naik 10%, sedangkan SMA naik 7% per peserta didik.
Dengan kenaikan anggaran ini, sekolah bisa memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan operasional sekolah seperti membeli buku hingga peralatan multimedia.
Sementara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022, pemerintah mengalokasikan dana BOS senilai Rp 53,91 triliun. Nilai tersebut meningkat tipis 0,8% dari outlook APBN 2021.
Sasaran dana BOS tersebut meliputi 45,1 juta siswa untuk BOS reguler. Sementara, 8.736 sekolah akan mendapatkan dana BOS Kinerja.
Adapun, realisasi dana BOS mencapai Rp 51,59 triliun pada 2020. Jumlah itu meningkat 4,86% dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 49,2 triliun.
Sedangkan anggaran pendidikan 2023 yang dikucurkan dari pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencapai Rp612,2 triliun. Pembiayaan ini paling tinggi sepanjang sejarah.
Sementara itu alokasi transfer daerah Rp305,6 triliun untuk BOS kepada 43,7 juta siswa, ada juga Bantuan Operasional Penyelenggaraan (BOP) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) kepada 6,2 juta siswa, dan BOP Pendidikan kesetaraan untuk 806 ribu peserta didik. Sisanya, Rp69,5 triliun untuk dana abadi pendidikan, penelitian, perguruan tinggi, dan kebudayaan
Di tahun 2022 ini dana BOS sudah ditetapkan untuk 217.620 sekolah yang memenuhi syarat-syarat yang disebutkan di atas dengan nilai anggaran 51,6 triliun.
Untuk satuan sekolah dasar ada sebanyak 147.384 sekolah dengan jumlah siswa 2.365.6000 dengan anggaran Rp 22,7 triliun. Nah data ini berbasis pada cut off 31 Agustus 2021 untuk 1 tahun 2022.
PPDB Kewenangan Pemda
Mengutip pernyataan Kemendikbud soal kisruh PPDB, pengakuan pemerintah pusat saat ini tidak bisa menyeragamkan pengelolaan PPDB ini.
Fungsi Pemerintah Pusat dalam hal ini adalah sebagai fasilitator, bukan sebagai regulator yang tidak memperhatikan kondisi dan kebutuhan di daerah.
Pemerintah Pusat memfasilitasi Daerah untuk mengelola sistem pendidikan agar setiap anak di daerah tersebut dapat mengakses pendidikan bermutu, dan sistemnya lebih berkeadilan sosial.
Dalam pelaksanaan evaluasi pelaksanaan PPDB di daerah, ditemukan bahwa Pemerintah Daerah kesulitan melakukan pemetaan jumlah usia anak sekolah yang sedang mengikuti PPDB dan jumlah daya tampung yang tersedia di Sekolah, sehingga dalam penerapannya cukup sulit dilaksanakan PPDB dengan jalur zonasi dengan persentase yang cukup besar.
Oleh karena itu, Pemerintah Pusat sangat mengapresiasi Pemerintah Daerah yang telah mampu menghitung dan memenuhi daya tampung serta mutu yang baik merata di seluruh Sekolah.
Sehingga Pemerintah Pusat memberikan aturan yang lebih fleksibel kali ini, sembari mendorong Pemerintah Daerah untuk melakukan pemetaan dengan data yang tepat, meningkatkan akses melalui daya tampung Sekolah yang mencukupi, dan meningkatkan mutu pendidikan di setiap Sekolah agar kualitas pendidikan yang tinggi dapat dirasakan oleh seluruh anak Indonesia.
“Di dalam mekanisme pengawasan kami, kami melihat kurang pengawasan yang dilakukan inspektorat daerah,” kata Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologii Chatarina Muliana Girsang saat raker dengan Komisi X DPR, awal Agustus 2023 ini.
Chatarina menambahkan temuan-temuannya bahwa inspektorat daerah tidak mengetahui jalur-jalur dalam PPDB sehingga pelanggaran-pelanggaran tersebut dapat terjadi akibat dari lemahnya pengawasan itu juga.
“Di dalam mekanisme pengawasan kami, kami melihat juga bahwa kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh inspektorat daerah. Ketika ada permasalahan dan ketika kami turun, inspektorat daerahnya juga tidak tahu bahwa PPDB yang diatur dengan permendikbud zonasi ada 4 jalur. ini juga menjadi PR bagi kami,” ujarnya.
Kisruh PPDB sistem zonasi masih menimbulkan kegaduhan nasional. Tentu semua pihak mengharapkan tidak terjadi pada tahun-tahun ke depan.
Komisi X DPR pun sudah melakukan pertemuan dengan pihak Kemendikbud. Berbagai masalah telah diuraikan untuk memilah-milah duduk perkaranya.
Karena saat ini sudah terlalu komplek sehingga harus ada jalan keluarnya.
Usai menganalisa penjelasan pihak Kemendikbud, salah satu anggota Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian mendesak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) RI untuk membentuk satgas pengawasan penerimaan peserta didik baru (PPDB).
“Melibatkan K/L terkait antara lain Ombudsman wilayah setempat, termasuk dalam rekomendasi pemberian sanksi kepada pejabat yang menyalahgunakan kewenangannya,” ujarnya kepada Syahidan di Jakarta, Kamis (03/07/2023).
Menurut Hetifah, Kebijakan zonasi memiliki tujuan yang baik karena kebijakan tersebut membuka kesempatan berkeadilan untuk akses masuk sekolah sesuai dengan aturan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 31 ayat (1).
“Implementasi Kebijakan PPDB, senantiasa menimbulkan polemik, mulai dari paradigma terkait PPDB, metode pelaksanaan PPDB, dan malpraktik yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan Sekolah,” terangnya.
Selain itu, adanya disparitas antara kebijakan nasional tentang jalur zonasi dengan interpretasi yang dibuat oleh pemerintah daerah juga menjadi salah satu masalah dalam penerapan PPDB.
“Kelemahan secara teknis atau ketidakmampuan dalam pendefinisian wilayah zonasi juga menjadi polemik,” kata Anggota DPR Fraksi Golkar ini.
Namun demikian, ia mengatakan bahwa kebijakan PPDB masih akan dilanjutkan namun dengan proses yang lebih adil lagi.
“Memang praktik buruk itu akan selalu ada di dalam setiap kebijakan. Kita harus bisa mengantisipasi dan mencari solusinya untuk mencegah,” ungkapnya.
DPR dengan mitra Kemendikbud Ristek telah membahas kebijakan PPDB dalam Rapat “Dengar Pendapat” (12/08/2023) yang menyampaikan beberapa rekomendasi.
Pertama, kata Hetifah, Kemendikbud Ristek RI untuk melakukan percepatan pemerataan jumlah maupun kualitas sekolah-sekolah negeri agar PPDB lebih berimbang.
Kedua, Kemendikbudristek RI harus mengoptimalkan penggunaan Dapodik untuk PPDB.
Ketiga, Kemendikbud Ristek RI untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh dalam menyelesaikan permasalahan yang ada terkait jalur zonasi saat ini terhadap kebijakan PPDB yang tertuang dalam Permendikbudristek No. 1 Tahun 2021.
Bila kewenangan saat ini sudah berada di pemerintah daerah, seyogyanya Kemendikbudristek bergerak cepat melakukan koordinasi secara nasional untuk mengkondisikan pemerintah daerah siap mengatasi berbagai masalah setiap PPDB. (Mihardi, Diana Rizky & Syahidan)