BEKASI — Pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur bukan hanya kejahatan, tetapi juga pelanggaran berat hak asasi manusia yang dapat merusak masa depan korban.
Direktur LBH Fraksi ’98, Naupal Al Rasyid, SH., MH, menjelaskan bahwa hukuman berat, termasuk pidana penjara 15 tahun, dan denda miliaran rupiah menanti para pelaku.
Kasus pelecehan seksual terhadap anak yang terus meningkat menunjukkan pentingnya penegakan hukum yang tegas.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Hukuman berat ini dianggap sebagai langkah krusial untuk melindungi korban dan memberikan efek jera bagi para pelaku.
Dasar Hukum dan Ancaman Pidana
Dalam sistem hukum Indonesia, pelecehan seksual terhadap anak diatur secara spesifik. Selain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana ini juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak).
Naupal Al Rasyid menjelaskan, Pasal 76D UU Perlindungan Anak secara jelas melarang setiap orang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa anak melakukan persetubuhan.
Sanksi pidana kemudian dipertegas pada Pasal 81 UU Perlindungan Anak, yang menetapkan hukuman sebagai berikut:
- Pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun.
- Denda maksimal Rp5 miliar.
Menurut Naupal, penjatuhan hukuman ini menjadi bukti keseriusan negara dalam melindungi anak sebagai generasi penerus bangsa.
Hukuman ini tidak hanya berfokus pada pidana badan, tetapi juga denda finansial yang diharapkan dapat mengganti kerugian negara dan memberikan ganti rugi yang layak bagi korban.
Proses Hukum yang Berpihak pada Korban Anak
Penanganan kasus pelecehan seksual terhadap anak memiliki prosedur khusus yang berpihak pada korban.
Proses penyelidikan dan penyidikan di kepolisian harus dilakukan dengan kehati-hatian, tanpa menyinggung perasaan korban.
Naupal menekankan, penyidik harus menyediakan ruang yang nyaman untuk pemeriksaan dan memastikan korban tidak tertekan.
Selain itu, korban harus didampingi oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) serta psikolog untuk pemulihan trauma.
Kejaksaan sebagai mitra penegak hukum juga memiliki peran penting dalam memastikan berkas perkara lengkap dan berpihak pada korban.
Dalam persidangan, anak sebagai korban wajib mendapatkan bantuan hukum dan didampingi oleh pembimbing kemasyarakatan atau pendamping.
Sidang perkara anak dilakukan secara tertutup untuk umum, kecuali pada saat pembacaan putusan, guna menjaga privasi dan mental korban.
Pentingnya Sinergi dan Perlindungan Komprehensif
Kejahatan pelecehan seksual tidak hanya meninggalkan luka fisik, tetapi juga trauma psikis seumur hidup.
Oleh karena itu, semua pihak, mulai dari kepolisian, kejaksaan, lembaga peradilan, hingga lembaga perlindungan anak, harus bersinergi untuk memberikan perlindungan dan pemulihan yang pantas.
Naupal Al Rasyid menegaskan, “Sangat penting bagi semua pihak, termasuk kelembagaan hukum dan eksekutif, untuk memprioritaskan penanganan masalah kekerasan seksual ini.” Perlindungan terhadap anak juga diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), yang memberikan payung hukum lebih kuat untuk memastikan korban mendapatkan keadilan, pemulihan, dan perlindungan sesuai hak asasinya.
Eksplorasi konten lain dari RakyatBekasi.Com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.





























