Bos Tesla Elon Musk resmi menandatangani kesepakatan untuk mengakuisisi Twitter Inc. senilai US$44 miliar atau setara Rp633 triliun (asumsi kurs Rp14.400).
Ketika kesepakatan rampung, status perusahaan jejaring sosial ini akan menjadi perusahaan tertutup (private company).
“Dewan Twitter melakukan proses yang bijaksana dan komprehensif untuk menilai proposal Elon dengan fokus pada nilai, kepastian, dan pembiayaan,” kata Ketua Dewan Independen Twitter Bret Taylor dalam sebuah pernyataan seperti dikutip Bloomberg.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dia menyebut kesepakatan itu “jalan terbaik ke depan bagi pemegang saham Twitter.”
Perjalanan panjang dilalui Musk untuk bisa membeli platform media sosial Twitter (TWTR). Mulai dari mengkritik, membeli saham sedikit, menolak masuk dewan direksi sampai akhirnya membeli perusahaan itu seharga $44 miliar.
Sebelumnya, Elon Musk hanya membeli 9,2 persen saham Twitter dan menjadikannya sebagai pemegang saham individu terbesar. Sebagai bagian dari pembelian saham itu, ia diminta untuk masuk jajaran dewan direksi.
Namun ia menolak tawaran tersebut di hari yang sama ketika ia ditawarkan. Meski begitu, ia tetap melontarkan kicauan-kicauan soal potensi perombakan di Twitter.
Jauh sebelum penawaran ini, Musk pernah divonis Komisi Sekuritas dan Bursa AS (SEC) mengeluarkan kicauan palsu dan menyesatkan usai menyatakan akan membeli semua saham Tesla senilai US$420 pada 2018. Angka itu dikatakan merujuk pada “budaya ganja” demi menyenangkan pacarnya.
Perjalanan Musk untuk memiliki Twitter cukup berliku. Awal ambisi Musk dimulai sejak ia berpikir ingin mempunyai media sosial baru miliknya sendiri.
Ini disampaikan Elon Musk saat menjawab pertanyaan di Twitter. Pertanyaan itu mengenai apakah dia mempertimbangkan membangun platform media sosial terdiri dari algoritma open source dan akan memprioritaskan kebebasan berbicara dan di mana propaganda yang minimal.
Musk memang sering mengkritik platform media sosial dan kebijakannya, termasuk Twitter. Dia mengatakan para perusahaan telah merusak demokrasi yang gagal mematuhi prinsip kebebasan berbicara. (*)