BEKASI – Gelombang kritik terhadap kebijakan tunjangan perumahan bagi pimpinan dan anggota DPRD Kota Bekasi terus menguat. Perhimpunan Nasional Aktivis ’98 (PENA ’98) Kota Bekasi menjadi salah satu suara yang paling vokal, menyebut fasilitas tersebut tidak relevan, merupakan pemborosan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan mencederai rasa keadilan publik.
Para aktivis menilai, fasilitas mewah ini mengesankan para wakil rakyat lebih mementingkan kenyamanan pribadi ketimbang memperjuangkan kepentingan masyarakat yang telah memilih mereka.
Ketua Umum Presidium PENA ’98 Kota Bekasi, Tumpak Sidabutar, mempertanyakan logika dasar pemberian tunjangan yang nilainya mencapai puluhan juta rupiah per bulan bagi setiap anggota dewan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Mereka adalah warga Kota Bekasi yang bekerja di wilayah tempat tinggalnya sendiri. Jadi, untuk apa lagi diberi tunjangan rumah? Logikanya sama sekali tidak relevan,” ujar Tumpak di Bekasi, Sabtu (06/09/2025).
Logika yang Dipertanyakan
Menurut Tumpak, esensi tunjangan perumahan adalah untuk membantu pejabat negara yang harus bertugas dan menetap jauh dari domisili asalnya. Kondisi ini, tegasnya, tidak berlaku bagi anggota DPRD Kota Bekasi.
“Mereka semua sudah memiliki rumah masing-masing di kota ini. Maka, pemberian tunjangan ini hanyalah bentuk pemborosan yang dilegalkan atas nama regulasi,” tegasnya.
Potensi Pemborosan APBD Hingga Ratusan Miliar
Kritik PENA ’98 didasarkan pada besaran anggaran yang diatur dalam Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 81 Tahun 2021.
Dalam regulasi tersebut, ditetapkan besaran tunjangan perumahan per bulan sebagai berikut:
- Ketua DPRD: Rp 53.000.000
- Wakil Ketua DPRD: Rp 49.000.000
- Anggota DPRD: Rp 46.000.000
PENA ’98 menghitung, jika diakumulasikan untuk 50 anggota DPRD Kota Bekasi selama satu periode jabatan (lima tahun), total anggaran yang dihabiskan untuk fasilitas ini bisa mencapai lebih dari Rp 139 miliar.
“Dana sebesar itu seharusnya bisa dialihkan untuk program yang lebih mendesak, seperti subsidi pendidikan, perbaikan layanan kesehatan, bantuan sosial bagi warga miskin, atau pembangunan infrastruktur dasar,” kata Tumpak. “Ini uang rakyat, bukan dana pribadi dewan.”
Kesenjangan Sosial dan Tuntutan Revisi Regulasi
Lebih jauh, Tumpak menyoroti ironi di tengah masyarakat. Di satu sisi, banyak warga Kota Bekasi yang masih berjuang untuk membeli rumah atau bahkan sekadar membayar kontrakan bulanan.
Di sisi lain, para wakil mereka justru dimanjakan fasilitas mewah yang dibiayai oleh pajak rakyat.
“Kondisi ini memperlebar jurang ketidakadilan sosial. Seolah-olah tanpa tunjangan rumah mereka tidak bisa bekerja, padahal faktanya mereka tinggal di rumahnya sendiri,” sindirnya.
Atas dasar itu, PENA ’98 mendesak dua hal utama:
- Sikap Moral Anggota Dewan: Anggota DPRD Kota Bekasi harus memberi teladan hidup sederhana dengan secara sukarela menolak tunjangan rumah tersebut untuk mengembalikan kepercayaan publik.
- Revisi Peraturan: Mendorong Pemerintah Kota Bekasi dan DPRD untuk segera merevisi Perwali Nomor 81 Tahun 2021 yang menjadi dasar hukum pemberian tunjangan.
“Kalau regulasi ini tidak segera diubah, pemborosan akan terus berulang setiap tahun. Rakyat tidak butuh dewan dengan fasilitas berlebihan. Rakyat butuh dewan yang peduli, sederhana, dan benar-benar bekerja untuk kepentingan bersama,” pungkas Tumpak.
Setujukah Anda dengan kritik yang disampaikan PENA ’98 mengenai tunjangan perumahan ini? Sampaikan pandangan Anda di kolom komentar di bawah.
Eksplorasi konten lain dari RakyatBekasi.Com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.





























