Oleh: NAUPAL AL RASYID, SH., MH (Direktur LBH FRAKSI ’98)
Penyimpangan dalam pelaksanaan anggaran pemerintah daerah khususnya terkait penyalahgunaan anggaran pokok pikiran (Pokir) Anggota DPRD seringkali menjadi sorotan dalam kasus-kasus korupsi di daerah.
Secara sederhana, pokir adalah usulan program atau kegiatan pembangunan yang diajukan oleh anggota DPRD kepada pemerintah daerah.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Usulan ini seharusnya berasal dari aspirasi masyarakat yang mereka wakili. Sebenarnya, ketentuan pokok pikiran (Pokir) Anggota DPRD merupakan bagian sah dalam proses perencanaan pembangunan daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 178 Permendagri Nomor 86 Tahun 2017, implementasi Pokir Anggota DPRD merupakan kajian permasalahan pembangunan daerah yang diperoleh dari DPRD berdasarkan risalah rapat dengar pendapat dan/atau rapat hasil penyerapan aspirasi melalui reses.
Artinya, Pokir Anggota DPRD secara tentatif memang diberlakukan dan melalui mekanisme ini, anggota DPRD dapat menyampaikan aspirasi masyarakat hasil reses untuk diintegrasikan ke dalam dokumen perencanaan pembangunan.
Namun demikian, menyoroti bahwa dalam praktiknya, Pokir Anggota DPRD kerap disusupi kepentingan pribadi maupun transaksi anggaran yang menyimpang dari prinsip akuntabilitas dan tidak bersesuaian dengan RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) yang telah ditetapkan.
Temuan korupsi yang sering terjadi dalam Pokir Anggota DPRD mencakup penyalahgunaan anggaran, suap, dan markup dalam proyek.
Selain itu, ditemukan kasus pengalokasian dana pokir ke yayasan fiktif dan hibah tanpa dasar hukum, bahkan dengan indikasi fee atau praktik ijon.
Korupsi riil, Pokir Anggota DPRD seringkali disalahgunakan sebagai ajang untuk mencari keuntungan pribadi atau kelompok Anggota DPRD yang memiliki pengaruh dapat mengatur agar usulan pokir mereka disetujui dan dialokasikan anggaran.
Kemudian, mereka dapat meminta fee atau komisi dari kontraktor yang mengerjakan proyek-proyek tersebut. Kepala Satgas Korsup Wilayah V, Dian Patria Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menemukan indikasi anomali dalam penyaluran dana pokok pikiran (pokir).
Dalam ketentuan, dana pokir itu seharusnya digunakan untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat. “Namun, dalam praktiknya, kami menemukan sejumlah pelanggaran, seperti hibah uang yang tidak jelas dasarnya, yayasan fiktif, dan indikasi adanya fee atau praktik ijon.”
Bentuk penyimpangan lain termasuk pengajuan tak sesuai prosedur, perubahan pokir setelah pembahasan anggaran, hingga tidak ada pertanggungjawaban yang sesuai fakta atas belanja hibah dan bantuan.
Praktik-praktik tersebut juga telah menjadi temuan berulang oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yakni temuan yayasan fiktif dan hibah yang tidak sah, sementara bantuan sosial sering disalurkan tanpa prosedur yang benar menjadi ada indikasi fraud dan dugaan jual beli pokir Anggota DPRD. (TEMPO.CO, 24 Nopember 2024).
Praktik-praktik lain, korupsi yang sering terjadi di lingkungan DPRD, yaitu bentuk korupsi seperti uang ketok palu dalam pengesahan anggaran serta penyalahgunaan dana Pokir Anggota DPRD yang bertujuan untuk menyalurkan aspirasi masyarakat.
Pokir Anggota DPRD adalah instrumen untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk memperkaya diri sendiri.
Menurut Pater Otto Gusti Madung (Ekorantt.com, 25 Maret 2019), praktik Pokir selama ini telah berujung pada sejumlah penyimpangan.
Pertama, Pokir tak lebih dari “penitipan proyek” para anggota DPRD. Pembahasan anggaran antara anggota komisi DPRD dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sudah menjadi rahasia umum telah berujung pada usulan proyek tertentu dengan mengatasnamakan Pokir DPRD.
Kedua, jika orang bicara Pokir, aspek pokok pikiran tidak tampak. Yang tampak adalah dimensi anggaran atau duit. Sekali lagi Pokir menjadi uang proyek yang dikelola oleh anggota DPRD.
Ketiga, Pokir tidak lebih dari istilah sandi rahasia bagi anggota DPRD untuk memainkan APBD. “Jadi, singkatnya, Pokir adalah ladang duit bagi para anggota DPRD untuk mendapatkan anggaran negara guna membiayai cost politic electoral yang semakin mahal.”
Hasil dari kajian ilmiah dan pemantauan, bentuk-bentuk korupsi yang sering terjadi dalam pokok pikiran (pokir) DPRD mencakup;
- Penyalahgunaan anggaran dengan cara dana pokir digunakan tidak sesuai dengan tujuan yang seharusnya, misalnya untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
- Suap Anggota DPRD atau pejabat terkait memberikan suap untuk mendapatkan keuntungan dalam pelaksanaan proyek pokir.
- Markup dengan harga proyek dinaikkan secara tidak wajar, sehingga terjadi kerugian negara.
- Alokasi dana ke yayasan fiktif dengan dana pokir dialokasikan ke yayasan yang tidak sah atau tidak jelas keberadaannya.
- Hibah tanpa dasar hukum dengan alokasi dana pokir untuk hibah tanpa ada dasar hukum yang jelas.
- Fee atau praktik ijon Anggota DPRD atau pejabat terkait meminta fee atau melakukan praktik ijon dalam pelaksanaan proyek pokir Anggota DPRD.
Tetapi dalam aktualisasinya pembahasan secara komprehensif, beberapa pendapat ahli menilai kebijakan Pokir Anggota DPRD ini kontradiktif dan bertentangan dengan konstitusi, putusan pengadilan dan banyak undang-undang.
Itu sebabnya, dalam kerangka normanya setidaknya terdapat poin penting alasan kenapa kebijakan pokir ini dinilai berseberangan dengan konstitusi dan undang-undang terkait.
Dimana, harfiahnya tugas dan fungsi DPRD sudah jelas dalam konstitusi yaitu fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran. Salah satu fungsi yang seringkali mengalami benturan itu adalah fungsi anggaran.
Meskipun DPRD merupakan lembaga representatif yang terdapat daerah, tapi tetap saja DPRD merupakan rumpun kekuasaan legislatif yang juga memiliki 3 (tiga) fungsi tersebut.
Hanya saja secara hukum positif, DPRD merupakan bahagian dari Pemerintahan Daerah. Itu sebabnya, kewenangan DPRD tersebut secara detail diatur melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Di dalam UU Pemerintahan Daerah terdapat 2 (dua) esensi utama fungsi DPRD. Pertama, fungsi DPRD terkait pembahasan rancangan Peraturan Daerah tentang APBD yang diajukan oleh Kepala Daerah untuk dibahas bersama dengan DPRD.
Kedua, soal fungsi anggaran DPRD yang secara hakiki adalah mengawasi setiap kebijakan fiskal yang dijalankan oleh Pemerintah Daerah.
Berdasarkan dua esensi utama fungsi tersebut, jika menggunakan tafsir konstitusi, DPRD tidak memiliki fungsi ataupun kewenangan untuk membahas anggaran hingga menjangkau sampai ke tingkat kegiatan dan jenis belanja pada saat pembahasan APBD atau dikenal dengan istilah satuan tiga atau mata anggaran untuk menjalankan pokir tersebut.
Artinya fungsi DPRD yang seharusnya sebagai legislator perlahan bergeser menjadi eksekutor.
Padahal, secara konstitusional yang berwenang untuk membahas satuan tiga itu murni kekuasaan eksekutif dalam hal ini Pemerintah Daerah.
Dengan tidak adanya kewenangan DPRD membahas anggaran hingga satuan tiga, secara eksplisit pun DPRD tidak berwenang untuk membahas dokumen anggaran yang memuat deskripsi (gambaran) program dan rincian alokasi pagu anggaran per Program, berdasarkan Unit Eselon II, dan Iingkup Satuan Kerja Perangkat Daerah.
Tetapi, hal itu juga tidak diindahkan oleh DPRD sebagai lembaga representatif daerah sebab DPRD ditamengi oleh Pasal 55 huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tersebut.
Seharusnya, Pasal 55 huruf (a) Peraturan Pemerintah tersebut secara langsung harus tidak berlaku sejak diberlakukannya Putusan MK Nomor 35/PUU-XI/2013 tentang Pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Jika kebijakan tersebut tetap dijalankan, tentu akan merugikan keuangan negara dan anggaran yang dianggarkan juga tidak proporsional.
Karena sesungguhnya kebijakan untuk mengeksekusi sebuah anggaran adalah murni kekuasaan eksekutif. (geotimes.id, 10 Februari 2020).
Oleh karena itu, berdasarkan pertimbangan kebijakan Pokir Anggota DPRD ini dinilai kontradiktif dengan konstitusi dan undang-undang, sebagaimana dimaksud kebijakan untuk pelaksanaan Pokir Anggota DPRD harus ditinjau ulang baik dari aspek implementasi maupun aspek pertanggungjawaban keuangan.
Sebab, secara sistematisasi hukum bila dibandingkan dengan peraturan-perundangan yang lebih tinggi termasuk Putusan MK, kebijakan Pokir Anggota DPRD jelas sudah berseberangan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan.
Akibatnya, Pokir Anggota DPRD kerap disusupi kepentingan pribadi maupun transaksi anggaran yang menyimpang dari prinsip akuntabilitas serta adanya indikasi penyimpangan yang sering terjadi dalam pelaksanaan pokir, seperti penyalahgunaan anggaran, praktik suap, hingga markup dalam pelaksanaan proyek Pokir Anggota DPRD.
Penulis : NAUPAL AL RASYID, SH., MH (Direktur LBH FRAKSI ’98)
Editor : Bung Ewox