Pengamat Politik Universitas Islam 45 (UNISMA) Bekasi, Adi Susila, menilai bahwa Pemerintah Kota Bekasi harus lebih bijak dalam melakukan penertiban Bangunan Liar (Bangli) di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS). Ia mengingatkan agar kebijakan ini tidak dilakukan secara reaksional, melainkan berdasarkan kajian mendalam terhadap dampak jangka panjangnya.
Penertiban Bangli di Kota Bekasi sejalan dengan program penataan wilayah yang tengah digencarkan oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi.
Namun, menurut Adi, hal yang lebih penting adalah memastikan relokasi tidak menimbulkan masalah baru bagi warga terdampak.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Adi Susila menegaskan bahwa kebijakan publik harus berangkat dari analisis menyeluruh, bukan sekadar eksekusi tanpa mempertimbangkan dampaknya.
“Kalau bicara soal Bangli, menurut saya harus dilihat secara lebih komprehensif. Bukan hanya soal penertiban semata, karena dalam kebijakan publik, akar masalah harus ditentukan dulu, bukan asal eksekusi tanpa pertimbangan matang,” ujarnya kepada RakyatBekasi.com, Jumat (09/05/2025).
Ia mengingatkan bahwa setelah penertiban dilakukan, Pemerintah Kota Bekasi harus memiliki rencana konkret mengenai pemanfaatan area yang sebelumnya ditempati oleh Bangli.
“Seharusnya ada program lanjutan setelah penertiban. Jangan hanya mengosongkan area tanpa rencana pemanfaatan yang jelas. Penertiban harus diiringi dengan kebijakan yang komprehensif,” tambahnya.
Menurut Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNISMA Bekasi ini, pemerintah daerah sering kali bertindak reaksional, terutama dalam mengikuti kebijakan dari tingkat provinsi atau pusat.
“Seringkali pemimpin daerah hanya mengikuti arahan pimpinan di atasnya, tanpa melakukan kajian atau analisis mendalam terlebih dahulu,” kritiknya.
Adi menekankan pentingnya problem structuring dalam kebijakan publik, yaitu menentukan akar masalah sebelum bertindak, agar kebijakan yang diambil tidak hanya menyelesaikan gejala, tetapi juga akar permasalahan.
“Jangan buru-buru dalam mengambil kebijakan. Ada metode problem structuring, yaitu menentukan akar masalah sebelum membuat kebijakan. Ini sangat penting dalam analisa kebijakan publik,” paparnya.
Adi juga menyoroti bahwa Bangli tidak muncul begitu saja, tetapi sering kali didorong oleh faktor ekonomi dan ketimpangan sosial.
“Sebelum Bangli muncul, pasti ada sebabnya. Apakah karena kurangnya lapangan pekerjaan? Jika iya, maka solusinya bukan hanya penertiban, tetapi juga penyediaan pekerjaan bagi warga terdampak,” ungkapnya.
Ia juga mengingatkan bahwa penertiban tanpa solusi konkret bisa memunculkan masalah baru, seperti meningkatnya angka pengangguran akibat relokasi warga dari area yang sebelumnya menjadi sumber penghasilan mereka.
“Jangan sampai penertiban Bangli malah memperburuk masalah sosial, misalnya dengan bertambahnya pengangguran akibat relokasi,” tambahnya.
Adi berharap agar Pemerintah Kota Bekasi tidak hanya mengejar pencitraan, tetapi benar-benar menyelesaikan masalah dari akar penyebabnya.
“Sekarang era pencitraan, banyak kebijakan yang lebih menonjol di media daripada menyentuh akar masalah. Yang lebih penting adalah memastikan masalah Bangli tidak muncul kembali di masa depan,” pungkasnya.
Melalui pendekatan yang lebih komprehensif dan berbasis solusi, ia berharap penataan wilayah tetap memperhatikan kesejahteraan masyarakat, bukan hanya sekadar menertibkan tanpa rencana lanjutan yang jelas.