Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Bekasi 2024 belum sepenuhnya usai, pasalnya Pasangan Calon (Paslon) nomor urut 1 (satu) Heri Koswara dan Sholihin (Risol) telah mengajukan permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Wali Kota Bekasi tahun 2024 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Permohonan tersebut tertuang dalam Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Elektronik Nomor: 224/PAN.MK/e-AP3/12/2024, Paslon 01 memberikan kuasa kepada Zainudin Paru dkk pada tanggal 9 Desember 2024.
Sementara permohonan Paslon ini dilayangkan pada tanggal 10 Desember 2024 pukul 19:10 WIB.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sekretaris DPD LSM Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Indonesia Kota Bekasi, Abudin, menghimbau kepada seluruh stakeholders dan tentunya masyarakat Kota Bekasi untuk sabar menunggu hasil dari permohonan gugatan sengketa pilkada yang dilayangkan oleh Paslon 01.
Tak hanya itu, Abudin pun menegaskan kepada khalayak untuk tidak menyalahkan pihak penyelenggara (KPU Kota Bekasi, red) maupun Pemerintah Kota Bekasi atas rendahnya angka partisipasi pemilih yang menggunakan hak pilihnya di Tempat Pemungutan Suara, Rabu (27/11/2024) lalu.
“Sabar dulu, Pilkada belum selesai karena salah satu paslon telah melayangkan gugatan. Kita tunggu dulu hasilnya ya. Terus kepada segenap stakeholders agar jangan menyalahkan penyelenggara dan Pemerintah Kota Bekasi sebagai penyebab rendahnya partisipan Pilkada Kota Bekasi yang hanya 55,81 persen,” tutur Abudin.
Sementara itu di tempat yang sama, Wakil Wali Kota LIRA Bekasi, Agung Lesmana, menambahkan bahwa pihaknya telah melakukan riset dan kajian terhadap perilaku konstituen pada Pilkada kali ini sehingga menyebabkan rendahnya partisipasi pemilih.
Adapun sejumlah faktor yang menjadikan rendahnya tingkat partisipasi pada Pilkada Kota Bekasi 2024 lalu adalah kejenuhan politik, durasi kampanye, waktu persiapan penyelenggara, cuaca buruk, dan jumlah TPS yang sedikit.
“Kami menemukan adanya indikasi masyarakat mengalami kejenuhan politik karena pelaksanaan pilkada hanya berselisih delapan bulan dari Pileg dan Pilpres Februari 2024 lalu,” papar Agung.
Pendeknya durasi kampanye pilkada yang hanya dua bulan, kata dia, mengakibatkan kontestan tidak memiliki cukup waktu untuk mengajak pemilih ke tempat pemungutan suara (TPS).
Selain itu secara objektif, tambah dia, pihaknya mengamati bahwa waktu persiapan KPU yang cukup singkat dalam menggelar tahapan pilkada juga turut menjadi faktor.
Apalagi, kata dia, jarak antara pendaftaran calon kepala daerah dengan pemungutan suara hanya sekitar tiga bulan.
“Di beberapa daerah, misalnya di Jatiasih diguyur hujan deras saat waktu pencoblosan, dengan kata lain mengalami cuaca buruk,” terangnya.
“Dan yang tak kalah penting adalah jumlah TPS lebih sedikit dibanding pilpres dan pileg sehingga jarak rumah sebagian pemilih dengan TPS relatif jauh, menjadi penyebab enggannya pemilih datang ke TPS,” ungkap Lesmana.
Kemudian terkait anggaran penyelenggaraan Pilkada sebesar Rp 90,8 miliar yang banyak dikritisi aktivis di Kota Bekasi, kata dia, harusnya dikaji lagi terlebih dahulu secara komprehensif dan tentunya tidak parsial.
“Anggaran Rp 90,8 miliar itu kan untuk seluruh keperluan penyelenggaraan pilkada, bukan hanya sosialisasi ke masyarakat. Jadi tidak ada korelasinya rendahnya angka partisipasi pemilih dikaitkan dengan tidak maksimalnya penyelenggara mengelola anggaran sebesar itu. Apalagi kita tahu, tetangga dekat kita yakni Jakarta, angka partisipasi pemilihnya merosot drastis hanya 58%. Padahal pada Pilkada DKI tahun 2017 lalu, partisipasi tembus di angka 70%,” pungkasnya.